- SELAMAT BERQURBAN SEMOGA MENINGKATKAN KESHALIHAH SOSIAL - SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU BAGI PASANGAN YANG BARU MENIKAH- IKUTI KURSUS PRANIKAH BAGI PASANGAN CALON YANG AKAN MENIKAH SETIAP HARI RABU - CEK BUKU NIKAH ANDA DI http://simkah.kemenag.go.id/infonikah atau klik SIMKAH ONLINE - NIKAH DI KANTOR BEBAS BEA- NIKAH DI LUAR KUA RP.600.000 DISETOR KE BANK - TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA
PENCAIRAN DANA DIPA YANG BERSUMBER DARI PNBP

PENCAIRAN DANA DIPA YANG BERSUMBER DARI PNBP

Pelaksanaan APBN dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga Negara berdasarkan dokumen pelaksanaan anggaran yaitu DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) dalam satu tahun anggaran yakni dari Januari s.d. Desember. Sumber dana APBN dalam DIPA terdiri atas 3 (tiga) sumber yaitu Rupiah Murni (RM), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PNBP). Artikel berikut akan membahas teknis pencairan dana APBN yang bersumber dari PNBP.
PNBP yang merupakan salah satu sumber dana dalam DIPA dibedakan atas PNBP yang setorannya secara Terpusat dan PNPB yang setorannya secara Tidak Terpusat.
PNBP yang setorannya secara Terpusat:
1.  PNBP yang setorannya secara Terpusat, yaitu penyetoran, pencatatan, pembukuan dan pelaporannya dilaksanakan oleh Kantor Pusat suatu Kementerian/Lembaga Negara. Penggunaan dana dialokasikan pada kantor-kantor daerah.
2.  Untuk satker pengguna yang setorannya dilakukan secara terpusat, pencairan dana diatur secara khusus dengan surat edaran Dirjen PBN tanpa melampirkan SSBP.
 PNPB yang setorannya secara Tidak Terpusat:
1. PNPB yang setorannya secara Tidak Terpusat, yaitu penyetoran, pencatatan, pembukuan dan pelaporannya dilaksanakan oleh masing-masing instansi/kantor dan dapat langsung dipergunakan.
2. Pencairan dana diatur berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban APBN.
3. Satker pengguna yang menyetorkan pada masing-masing unit (tidak terpusat), pencairan dana harus melampirkan bukti setoran (SSBP) yang telah dikonfirmasi oleh KPPN.
 Pencairan dana DIPA yang bersumber dari PNBP tidak terpusat
Pencairan dana DIPA yang bersumber dari PNBP tidak terpusat, wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
·            Besarnya pencairan dana PNBP secara keseluruhan tidak boleh melampaui pagu PNBP satker yang bersangkutan dalam DIPA.
·         Khusus perguruan tinggi negeri selaku pengguna PNBP (non BHMN), sisa dana PNBP yang disetorkan pada akhir tahun anggaran ke rekening kas negara dapat dicairkan kembali maksimal sebesar jumlah yang sama pada awal tahun anggaran berikutnya mendahului diterimanya DIPA dan merupakan bagian dari target PNBP yang tercantum dalam DIPA tahun anggaran berikutnya.
·         Sisa dana PNBP dari satker pengguna yang disetorkan ke rekening kas negara pada akhir tahun anggaran merupakan bagian realisasi penerimaan PNBP tahun anggaran berikutnya dan dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan setelah diterimanya DIPA.
·            Dana yang berasal dari PNBP dapat dicairkan maksimal sesuai formula:
MP = (PPP x JS) – JPS
MP = maksimum pencairan dana.             
PPP = proporsi pagu pengeluaran terhadap pendapatan.
JS = jumlah setoran.
JPS = jumlah pencairan dana sebelumnya sampai dengan SPM terakhir yang diterbitkan
·           Besaran PPP untuk masing-masing satker pengguna diatur berdasarkan surat keputusan Menteri Keuangan yang berlaku.
·           Satker pengguna yang menyetorkan pada masing-masing unit (tidak terpusat), pencairan dana harus melampirkan bukti setoran (SSBP) yang telah dikonfirmasi (divalidasi) oleh KPPN.
UP dan TUP PNBP Tidak Terpusat
1. UP/TUP untuk PNBP diajukan terpisah dari UP/TUP lainnya menggunakan akun 825113;
2. UP dapat diberikan kepada satker pengguna sebesar 20% dari pagu dana PNBP pada DIPA maksimal sebesar Rp500.000.000,00
3.  Apabila UP tidak mencukupi dapat mengajukan TUP sebesar kebutuhan riil satu bulan dengan memerhatikan maksimum pencairan (MP).
4. Sisa UP/TUP dana PNBP pada akhir tahun anggaran harus disetorkan ke Kas Negara, dan bila tidak disetorkan ke rekening kas negara, akan diperhitungkan pada saat pengajuan pencairan dana UP tahun anggaran berikutnya.
5.  Pertanggungjawaban penggunaan dana UP/TUP PNBP oleh kuasa PA, dilakukan dengan mengajukan SPM-GU ISI atau SPM-GU NIHIL ke KPPN.
Pengajuan SPM PNBP ke KPPN
Pastikan Kode SPM yang digunakan dalam Aplikasi SPM menggunakan kode sumber dana PNBP. Dalam pengajuan SPM-TUP/GUP/LS PNBP ke KPPN, satker pengguna harus melampirkan daftar perhitungan jumlah MP sesuai dengan lampiran VIII PER-66/PB/2005
Persyaratan SPM:
·         SPM UP (menggunakan akun 825113), disertai ADK SPM
·         SPM GU ISI, menggunakan akun-akun yang diperbolehkan, dengan disertai:
1.  ADK SPM;
2.  SPTB khusus SPM GU;
3. Copy Faktur Pajak/SSP yang dilegalisasi KPA dan telah divalidasi oleh KPPN (untuk transaksi yang dikenakan pajak-pajak);
4.  Daftar perhitungan jumlah MP sesuai dengan lampiran VIII PER-66/PB/2005;
5.  SSBP bila ada setoran penerimaan PNBP.
·         SPM TUP, menggunakan akun-akun yang diperbolehkan dan pada potongan SPM menggunakan akun 825113 dengan disertai:
1. ADK SPM;
2. Surat Pernyataan TUP;
3. Rincian Rencana Penggunaan Dana beserta Sisa Dana atas akun yang digunakan.
4. Rekening Koran Bendahara Pengeluaran;
5. Daftar perhitungan jumlah MP sesuai dengan lampiran VIII PER-66/PB/2005;
6. SSBP bila ada setoran penerimaan PNBP
·          SPM GU NIHIL:
1. ADK SPM;
2. SPTB khusus SPM GU;
3. Copy Faktur Pajak/SSP yang dilegalisasi KPA dan telah divalidasi oleh KPPN (untuk transaksi yang dikenakan pajak-pajak);
4.  Daftar perhitungan jumlah MP sesuai dengan lampiran VIII PER-66/PB/2005;
5.  SSBP bila ada setoran penerimaan PNBP;
6.  SSBP atas penyetoran ke rekening Kas Negara yang telah divalidasi KPPN bila TUP tidak habis dipergunakan;
·          SPM LS:
1.  ADK SPM;
2. SPTB khusus SPM LS;
3. Resume Kontrak, Daftar Nominatif Perjalanan Dinas, Daftar Penerima Honor dan Surat Keputusan Pemberian Honor (tergantung jenis transaksinya).
4.  Faktur Pajak/SSP (untuk transaksi yang dikenakan pajak-pajak)
5.  Daftar perhitungan jumlah MP sesuai dengan lampiran VIII PER-66/PB/2005;
6.  SSBP bila ada setoran penerimaan PNBP.
Membuat Maksimal Pencairan PNBP melalui Aplikasi SPM
Aplikasi SPM telah menyediakan fasilitas untuk merekam dan mencetak Maksimal Pencairan PNBP tidak terpusat sesuai dengan lampiran VIII PER-66/PB/2005 pada Menu Karwas MP PNBP.
Proses perekaman:
1. Melakukan perekaman besaran prosentase MP berdasar surat Keputusan Menteri Keuangan;
2.  Melakukan perekaman SSBP, setelah mendapat validasi di KPPN;
3.  Melakukan pencetakan jumlah rincian MP;
4.  Melakukan pencetakan daftar lampiran SSBP;
5.  Melakukan pencetakan rincian SPM yang akan disampaikan ke KPPN.
Output yang dihasilkan:
1. Daftar perhitungan jumlah MP
2. Daftar lampiran SSBP
3. Daftar rincian SPM yang akan disampaikan ke KPPN

TUKIN DIBAYAR DUA TAHAP DIAWALI BULAN DESEMBER

Jakarta (Pinmas) —- Sekjen Kemenag Nur Syam memastikan bahwa proses pencairan tunjangan kinerja (tukin) aparatur Kementerian Agama pada tahun 2014 sudah tidak ada masalah karena semua persyaratan sudah terpenuhi. Namun, tukin tersebut akan dibayarkan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pembayaran tukin bulan desember. Tahap kedua pembayaran tukin bulan Juli – November.
“Insya Allah sudah tidak ada masalah tukin ini karena semua persyaratan sudah kita penuhi. Saya rasa  pada bulan Desember ini, insya Allah tukin pertama untuk bulan Desember sudah bisa dibayarkan,” tegas Nur Syam di Jakarta, Senin (15/12).
Berawal dari terbitnya Peraturan Pemerintah No 108 Tahun 2014 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai Di Lingkungan Kementerian Agama, Kemenag telah menerbitkan sejumlah perangkat aturan terkait, seperti: SE tentang Pelaksanaan PP 108/2014, PMA 51/2014 tentang Nilai dan Kelas Jabatan Struktural dan Fungsional, serta Keputusan Sekjen tentang Tata Cara Pembayaran Tunjangan Kinerja Pegawai Kementerian Agama.
Setelah segala sesuatunya disiapkan, lanjut Nur Syam, kini  sesuai petunjuak Dirjen Perbendaharan, pembayaran pertama tukin dilakukan satu bulan terlebih dulu. Selanjutnya, tukin bulan Juli – November juga akan dibayarkan. Nur Syam memastikan bahwa proses pembayaran itu harus selesai di bulan ini. “Yang Juli – November bulan ini juga (dibayarkan), tidak mungkin dibayarkan di bulan depan,” tegas Nur Syam.
Open Recruitment
Remunerasi Kementerian Agama masih pada angka 40%. Akan hal ini, Nur Syam mengaku optimis akan terjadi peningkatan pada tahun 2015 mendatang, namun dengan persyaratan yang harus dipenuhi.
Dikatakan Nur Syam bahwa salah satu yang harus dipenuhi untuk meningkatkan remunerasi adalah pemberlakukan open recruitmen. Nur Syam mengaku sudah membahas dengan jajaran pimpinan Kementerian Agama dan memperkirakan akan mulai menerapkan open recruitment pada  April mendatang. “Arpil itu kita sudah mengguankan open recruitment sebagai salah satu persyaratan untuk memenuhi UU ASN. Insya Allah bulan-bulan itu,” kata Nur Syam. 
“Katakanlah kita Januari – Maret ini persiapan-persiapan yang terkait dengan content soal, terkait dengan empat kompetensi PNS, itu nanti kita siapkan pada Januari – Maret. Selama tiga bulan lah kira-kira, dan bulan April kita akan melakukan open recruitment,” tambahnya sembari menegaskan bahwa open recruitmen itu akan diberlakukan pada semua level dan  prosesnya melibatkan  tim assessment dan kalangan professional. 

“Saya rasa yang kita perlu persiapkan adalah hal-hal yang terkait dengan pemenuhan kewajiban sebagai aparat sipil negara yang sudah memiliki tukin, seperti performance kinerja. Itu semua akan kita siapkan karena januari ini sudah harus berlaku,”  tandas Nur Syam mengingatkan. (mkd/mkd)


Surat Sekjen tentang tatacara pembayaran Tunjangan kinerja bisa di download disini, disini, disini

TOKOH AGAMA BEDA PANDANGAN TENTANG BATAS USIA NIKAH

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menghadirkan sejumlah pihak terkait dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kali ini yang dibahas adalah batas usia pernikahan 16 tahun bagi perempuan. Sebelumnya Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) berkeberatan terhadap aturan batas usia pernikahan 16 tahun bagi perempuan.

Kali ini Mahkamah Konstitusi mendengarkan sejumlah tokoh agama yakni MUI, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), dan ormas Islam seperti PB NU dan PP Muhammadiyah. Tokoh agama dalam paparannya berbeda pandangan menyangkut batas usia perkawinan.

MUI meminta MK agar mempertahankan batas usia nikah 16 tahun bagi perempuan. Sebaliknya, Sebaliknya, PHDI mendukung pemohon yang meminta MK mengubah batas usia nikah. Sedangkan, Matakin memandang meski Konghucu mengatur batas usia pernikahan, tetapi Matakin menyerahkan sepenuhnya kepada aturan negara.

“Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan telah mengandung nilai-nilai agama (Islam), sehingga harus dinyatakan tetap konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Ketua Dewan Pimpinan MUI, Amidhan Shaberah dalam persidangan di gedung MK, Selasa (02/12).

MUI menegaskan hukum agama termasuk Islam tidak menetapkan batas usia pernikahan. Dalam agama Islam hanya mengatur baligh (kedewasaan) dengan beberapa tanda-tanda. Pertama, anak perempuan sudah berusia 9 tahun atau lebih dan telah mengalami haidh (menstruasi). Kedua, laki-laki atau perempuan telah berumur 9 tahun atau lebih dan pernah mengalami mimpi “basah”. Ketiga, laki-laki atau perempuan yang telah mencapai 15 tahun tanpa syarat haidh dan mimpi “basah”.

“Jadi, kedewasaan dalam Islam rentang usia 9 tahun hingga 15 tahun, sehingga penetapan batas usia nikah 16 tahun bagi wanita sudah sesuai kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai Islam,” ujar Amidhan.

Amidhan mengungkapkan penetapan batas usia minimal wanita untuk menikah 16 tahun merupakan ijtihad para ulama PPP di DPR saat pembahasan RUU Perkawinan. Diantaranya, KH Ali Yafie (NU), Tengku Saleh (Perti), Oka Abdul Aziz (Al-Washliyah) dan ulama di luar DPR seperti KH Abdullah Syafei, KH Syukri Gazali, dan KH Muhayat.

Alhasil, penetapan batas usia itu disetujui para ulama di DPR dan di luar DPR dengan catatan membuka ruang dispensasi dengan alasan tertentu. Sebab, kala itu masih terdapat banyak pernikahan anak di bawah umur 16 tahun. Menurutnya, penetapan batas usia nikah minimal 16 tahun bagi perempuan yang terumuskan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan agar tidak terjadi kesenjangan terlalu jauh dengan usia kedewasaan (baligh).

“Lagipula, sejak disahkannya hingga kini, UU Perkawinan telah diterima masyarakat dan terbukti tidak ada gejolak atau gerakan dari agama manapun yang meminta dibatalkan UU itu,” paparnya. “Jadi, pengaturan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan terutama frasa “16 tahun” tidak perlu dipermasalahkan karena tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.

Matakin memandang usia perkawinan bisa dilakukan saat usia dewasa. Menurut ajaran Matakin kedewasan bukan ditentukan oleh akil baliq, tetapi ditentukan dengan prosesi upacara ketika wanita memasuki usia 15 tahun dan laki-laki memasuki usia 20 tahun.

“Dalam agama Konghucu kapan boleh menikah, bagi wanita 5 tahun setelah upacara baru diperkenankan menikah, sedangkan bagi laki-laki 10 tahun kemudian,” ujar Wakil Ketua Deroh Matakin, Xs. Djaengrana Ongawijaya.

Meski begitu, dalam praktiknya batas usia perkawinan dalam agama Konghucu mengacu pada perkembangan kehidupan bangsa ini. Karena itu, pihaknya tidak menolak pengujian UU Perkawinan ini. Sebab, dalam Konghucu, pemerintah dianggap sebagai “bapak”, sehingga tidak boleh berdosa (menentang) terhadap negara (aturan negara).

“Kita tidak dalam posisi mendukung atau tidak, yang terpenting aturan yang ada tetap kita taati yang praktiknya disesuaikan dengan agama Konghucu. Kalau misalnya umat kami sudah berumur 16-17 tahun mau menikah ya kita juga tidak melarang,” katanya.


Perlu diubah
Menurut pandangan Hindu, perkawinan dapat dilakukan setelah mencapai usia dewasa. Usia dewasa bukan ditentukan datangnya menstruasi bagi wanita dan ciri-ciri akil baligh bagi laki-laki. Ciri-ciri itu baru menunjukkan mereka telah mencapai usia remaja atau baru dewasa secara fisik saja dan belum dianggap dewasa. “Kedewasaan sesungguhnya sesuai Susastra Hindu adalah secara jasmani dan mental telah memiliki kestabilan jiwa,” ujar Ketua Dewan Pakar PHDI Pusat, I Nengah Dana dalam sidang.

Merujuk kitab Nitisastra Kakawin dan kitab Canakya Niti III.18, dapat dipahami seseorang dianggap telah mencapai usia dewasa adalah setelah berumur lebih dari 16 tahun atau dimulai antara usia 16 sampai 20 tahun. Sementara dalam kitab Manu Smerti, usia layak kawin bagi wanita adalah setelah mencapai usia 19 tahun.

Akan tetapi, menurut beberapa penulis/akhli sastra, seperti Bhagawan Kullukabhata, Narayana, dan Raghawananda seperti dikemukakan dalam buku Perkawinan Menurut Hukum Hindu (Gde Pudja, MA. 1975 : 34), usia yang layak kawin bagi wanita adalah 18 tahun. Apabila ayahnya diharapkan menunggu 3 tahun lagi, maka ini berarti putrinya baru dikawinkan pada umur 21 tahun.

“Karena itu, frasa 16 tahun dalam pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan perlu dilakukan perubahan menjadi 18 tahun bagi calon pengantin wanita. Sementara frasa 19 tahun perlu dipertimbangkan untuk diubah menjadi 21 tahun bagi calon pengantin pria. Atau setidak-tidaknya sama dengan ketentuan saat ini yakni 19 tahun,” harapnya.

Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, Zumrotin dan Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak mempersoalkan batas usia perkawinan bagi wanita, yakni 16 tahun melalui pengujian Pasal 7 ayat (1), (2) UU Perkawinan. Mereka berpandangan norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi karena menjadi landasan dan dasar hukum pembenaran perkawinan anak yang belum mencapai 18 tahun.

Padahal, usia kedewasaan jika seseorang sudah mencapai usia 18 tahun sesuai Pasal 26 UU Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) khususnya frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai atau dibaca “18 tahun (delapan belas) tahun”. Namun, pemohon Koalisi Indonesia meminta MK membatalkan Pasal 7 ayat (2) karena bertentangan UUD 1945.



JUKNIS PENGELOLAAN PNBP NR 2014

Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 46 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Nikah dan Rujuk Diluar Kantor Urusan Agama Kecamatan unduh disini.

Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/748 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Nikah atau Rujuk diluar Kantor Urusan Agama Kecamatan  unduh disini. 

Surat Menteri Keuangan Nomor : S-724/MK.02/2014 tanggal 18 Oktober 2014 perihal Standar Biaya Masukan Lainnya di Lingkup Kementerian Agama dalam penggunaan Biaya Nikah dan Rujuk, unduh disini

KEMENAG AKAN SEMPURNAKAN SIGHAT TAKLIK TALAK

Jakarta (Pinmas) – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengakui bahwa pihaknya tengah mempersiapkan perbaikan “sighat ta’lik” pernikahan, sehingga ke depan janji yang disampaikan pengantin pria dapat sesuai dengan kondisi saat ini.
“Harapannya substansi dari janji pernikahan yang dibacakan oleh seorang suami  relevan dengan kondisi saat ini,” kata Menag di Jakarta, Rabu (29/10) malam.
Menag sebelumnya membuka Sosialisasi Peraturan Menteri Agama (PMA) Tunjangan Kinerja di Lingkungan Kementerian Agama. Pada acara itu nampak hadir Sekjen Kementerian Agama Nur Syam, Kepala Biro Ortala Basidin Mizal, Kepala Badan Litbang dan Diklat Abdurahman Masud, Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh Abdul Djamil, Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Ahmad Gunarjo, Dirjen Bimas Islam Machasin, serta sejumlah pejabat dari berbagai daerah.
Terkait dengan “sighat ta’lik” nikah, Menag menjelaskan, upaya perbaikan tersebut baru rencana.  Sebelumnya, kementerian tersebut melakukan perbaikan pelayanan nikah. Tarif nikah diatur untuk menghindari gratifikasi bagi petugas nikah. Tarif nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) dan di luar jam kerja atau libur  ditetapkan  sebesar Rp600 ribu. Sedangkan untuk nikah di KUA tidak dikenakan biaya atau gratis.
Sighat, dalam konteks pernikahan, bisa diartikan dengan ungkapan atau pernyataan dan ta’lik bisa diartikan menggantungkan. Jadi, menurut Dirjen Bimas Islam Machasin, sighat ta’lik – yang berasal dari Bahasa Arab itu, bisa diartikan sebagai ungkapan atau pernyataan yang digantungkan atau dikaitkan dengan suatu syarat atau kondisi. Sayyid Sabiq juga menyebutkan bahwa sighat ta’lik talak adalah sighat talak yang dikaitkan/digantungkan pada suatu syarat atau kondisi (perbuatan) tertentu, seperti perkataan suami kepada istrinya: “Jika engkau pergi ke tempat …... maka engkau tertalak”.
Sighat ta’lik yang dirumuskan Pemerintah (Kementerian Agama) adalah ungkapan atau pernyataan (sebagai janji) seorang suami tentang suatu keadaan (perbuatan) yang apabila ia melanggarnya maka ada konsekuensi hukum yaitu jatuh talak satu, tetapi dengan syarat si istri tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan oleh Pengadilan Agama tersebut dan si istri membayar sejumlah uang iwadh.
Perlunya dilakukan perbaikan pada “sighat ta’lik” nikah, lanjut Menag, karena janji yang dibacakan seorang suami sudah tak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Ia menyebut contoh, kewajiban membayar Rp10 ribu kepada pengadilan agama sebagai ‘iwadl (pengganti).
Namun, lanjut Menag, upaya perbaikan itu tentu tidak mudah dilakukan. Perlu kajian mendalam, baik dari sisi syari maupun sosial kultural. 
Fakta di masyarakat, “sighat ta’lik” nikah masih ada yang memandang tidak perlu dibaca. Alasannya, “shighat ta’liq” itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan syarat, rukun atau sunnah dalam akad nikah. Artinya, tidak dibaca pun tidak apa-apa. Bahkan sebaliknya, bila dibaca maka ada beberapa konsekuensi yang harus diterima.
Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag, Abdurrahman Mas’ud  mengakui bahwa “sighat ta’lik” nikah perlu dilakukan penyempurnaan, karena substansinya sudah tidak sesuai dengan zaman. Perlu dilakukan aktualisasi, sehingga ke depan, lembaga perkawinan mampu menciptakan keluarga yang harmonis.
Pendapat serupa juga dilontarkan Dirjen Bimas Islam, Machasin. Katanya, upaya Menteri Agama melakukan perubahan “sighat ta’lik” perlu didukung semua pihak. Karena itu pihaknya mendukung langkah Kepala Balitbang-Diklat Kemenag untuk melibatkan para pemangku kepentingan, seperti Organisasi Kemasyarakat (Ormas) Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengkaji peran dari “sighat ta’lik” nikah.
Dengan cara itu, kata Machasin, semua pihak dapat memahami dan menerima pentingnya “singhat ta’lik” nikah untuk membentuk keluarga sakinah. (ess/ant/mkd)


Sumber : http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=219842
GEBYAR MUHARRAM 1436 SISWA MADRASAH IBTIDAIYYAH

GEBYAR MUHARRAM 1436 SISWA MADRASAH IBTIDAIYYAH

Gunungjati (27/10/2014); Memeriahkan datangnya tahun baru hijriyah 1436, para siswa Madrasah gebyar Muharam yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 27 Okotober 2014 dengan memulai start dari depan SMPN 3 desa Sambeng menuju arena lokasi kegiatan di halaman MI Al-Ikhlas Desa Babadan. Dari sejak pagi para murid ini berkumpul dengan mengenakan seragam yang berwarna warni serta membawa serta alat musik kebanggaan yang ditabuh selama perjalanan pawai. 2 kelompok Grup Drumband MI juga mengiringi pawai gebyar Muharram ini. Kegiatan ini diselenggarakan oleh KKG MI Kecamatan Gunungjati dan dilepas langsung oleh Kepala KUA Kec. Gunungjati. Acara ini merupakan puncak dari kegiatan lomba menyambut muharram yang dilaksanakan seminggu sebelumnya dan diakhir kegiatan ini diumumkan para juara dan pemberian tropi hadiah kejuaraan. Semoga menjadi penyemangat dan ghiroh bagi para siswa Madrasah Ibtidaiyyah untuk lebih mengenal sejarah Islam dan mengamalkan ajaran Islam dari pengetahuan yang telah diterima dalam pembelajaran di kelas.
KUNJUNGAN TIM PENELITI LITBANG DAN DIKLAT KEMENAG RI

KUNJUNGAN TIM PENELITI LITBANG DAN DIKLAT KEMENAG RI

Gunungjati (9/10/2014); Kantor Urusan Agama Kecamatan Gunungjati menerima kunjungan tim penelitian Kasus-kasus Aktual Kehidupan Keagamaan (Studi Kasus Al-maghfurullah) dari Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama yang terdiri dari 3 orang peneliti yaitu Dra.Hj. Suhanah, M.Pd, Reslawati, S.Ag, M.Si dan Hj. Mesrawati, BA.
Studi kasus tentang fatwa MUI terkait dengan ajaran Yayasan Al-maghfurullah di Desa Klayan Kecamatan Gunungjati Kabupaten Cirebon yang dipimpin oleh guru mursid toriqot Qodiriyah wan Naqsabandiyah bernama Kaharudin, diawali dengan pengumpulan data dan informasi di Kantor Urusan Agama, audiensi dengan Kapolsek Gunungjati, peninjauan lokasi yayasan Al-Maghfurullah, audiensi dengan pihak yang melaporkan, audiensi dengan MUI Kabupaten Cirebon, audiensi dengan pihak terlapor dan sejumlah kegiatan lain yang menunjang pelaksanaan penelitian tersebut.

Harapan KUA dengan adanya penelitian ini memberikan masukan bagi Kementerian Agama bahwa kasus aliran keagamaan ini serius untuk ditangani dan seharusnya ada standar operasional penanganan kasus yang diterbitkan oleh Kementerian Agama untuk menjadi pedoman bagi aparatur pelaksana di daerah terutama KUA sebagai garda terdepan agar bertindak lebih profesional dalam penanganan kasus-kasus keagamaan.  

DUA ALASAN INDONESIA BERBEDA DENGAN SAUDI DALAM PENETAPAN AWAL DZULHIJJAH

Jakarta (Pinmas) —- Pelaksana Tugas Dirjen Bimas Islam Kemenag RI Dr Muchtar Ali, didampingi Sesdirjen Bimas Islam, Muhammadiyah Amin, dan Anggota Tim Hisab-Ru’yat dari Planetarium Cecep Nurwendaya, memberikan keterangan pers tentang perbedaan penetapan awal Dzulhijjah 1435 H antara Indonesia dan Saudi Arabia, di Kemenag Lapangan Banteng, Senin (29/09).

Pemerintah Indonesia menetapkan, 1 Dzulhijjah 1435 H jatuh pada hari Jum’at (26/09), sedang Pemerintah Arab Saudi menetapkan jatuh pada Kamis (25/09). Menurut Muchtar Ali, perbedaan ini setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, saat terbenam matahari pada Rabu (24/06), posisi Hilal di seluruh Indonesia pada ketinggian antara minus 0.5 derajat sampai plus 0.5 derajat. Sementara secara hisab, Pemerintah menggunakan  kriteria kesepakatan Negara MABIMS, yaitu dengan tinggi hilal 2 derajat, sudut elongasi 3 derajat, dan umur hilal sudah mencapai 8 jam.

“Sehingga untuk awal Dzulhijjah dengan ketinggian di seluruh Indonesia masih kurang dari dua derajat, sudut elongasi tidak mencapai 3 derajat, dan umur hilal belum 8 jam, maka secara hisab bulan Dzulqa’dah harus disempurnakan 30 hati dan 1 Dzulhijjah jatuh pada hari Jumat, 26 September 2014, sehingga 10 Dzulhijjah 1435H bertepatan dengan tanggal 5 Oktober 2014,” terang Muchtar Ali.

Namun, lanjut Muchtar, Pemerintah menetapkan awal Dzulhijjah berdasarkan sidang itsbat dengan memperhatikan hisab dan rukyat dari seluruh Indonesia. “Laporan tidak terlihatnya Hilal di seluruh Indonesia menguatkan hasil hisab sehingga umur bulan Dzulqa’dah 1435H digenapkan menjadi 30 hari dan 10 Dzulhijjah bertepatan dengan tanggal 5 Oktober 2014,” katanya.

Kedua, Indonesia dan Arab Saudi merupakan wilayah hukum yang berbeda.  Berdasarkan fatwa MUI No 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Kementerian Agama memperoleh mandat untuk menetapkan awal tiga awal bulan hijriyyah tersebut. Untuk itu, Kemenag mengadakan siding itsbat.  “Apa yang Pemerintah RI putuskan, juga diamini, disepakati dan dilaksanakan di negara-negara MABIMS (Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura), selain juga, sesuai dengan Fatwa MUI tentang penetapan awal bulan,” terangnya.

Sementara itu, Arab Saudi mempunyai acuan penanggalan berdasarkan kalender Ummul Quro. Dalam situs resminya tertulis tanggal 1 Dzulhijjah bertepatan dengan tanggal 25 September 2014. Mahkamah Ulya Saudi menetapkan berdasarkan laporan terlihatnya hilal di Arab Saudi bahwa 1 Dzulhijjah bertepatan dengan tanggal 25 September 2014 sehingga Idul Adha (10 Dzulhijjah) jatuh pada 4 Oktober 2014.

Muchtar Ali menegaskan, perbedaan penetapan Pemerintah Indonesia dan Saudi adalah sesuatu yang bisa saja terjadi disebabkan perbedaan mathla’ (wilayah hukmi). “Itu sesuai dengan penegasan MUI bahwa penetapan awal Dzulhijjah/Idul Adha berlaku dengan mathla’ masing-masing negara. Dalam hal ini ulama telah konsesus. Indonesia dalam melaksanakan Idul Adha tidak dibenarkan mengikuti negara lain yang berbeda mathla’,” katanya.

Plt Dirjen Bimas Islam ini berharap penjelasan ini dapat memberikan pemahaman dan menambah keyakinan dan keterangan kepada masyarakat Indonesia dalam beribadah. Dengan ditetapkannya, 1 Dzulhijjah pada Jum’at Pon, 26 September 2014, maka Hari Raya Idul Adha (10 Zulhijjah) di Indonesia, bertepatan dengan hari Ahad Pahing, 5 Oktober 2014.

Muchtar Ali mengajak seluruh lapisan masyarakat Indonesia untuk mengedepankan Ukhuwah Islamiyyah.

Sementara itu, Anggota Tim Hisab-Ru’yat Kementerian Agama Cecep Nurwendaya menerangkan, bahwa perbedaan penetapan tanggal antara Pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Arab Saudi sudah beberapa kali terjadi. “Dalam kurun 1975-1999, tepatnya selama 24 tahun,  ada 13 kali perbedaan penetapan tanggal antara Pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Arab Saudi, dan kita menghargai keputusan Kerajaan Arab Saudi tersebut,” terang Cecep. (g)

Keputusan pemerintah terkait penetapan 1 Dzulhijjah 1435H dapat di download disini KMA No.158 Tahun 2014




JADUAL KEBERANGKATAN HAJI 2014


JADWAL KEBERANGKATAN JAMAAH HAJI
KABUPATEN CIREBON TAHUN 1435H/2014M

KLOTER
BERANGKAT DARI
ASRAMA HAJI WATUBELAH
MASUK ASRAMA
 HAJI BEKASI
NO. FLIGHT
29
Rabu, 10-09-2014  14:30
Rabu, 10-09-2014 21:30
SV.5411
46
Senin, 15-09-2014 21:00
Selasa, 16-09-2014 04:00
SV.5207
63
Minggu, 21-09-2014 13:00
Minggu, 21-09-2014 20:00
SV.5721
69
Selasa, 23-09-2014 02:30
Selasa, 23-09-2014 09:30
SV.5301
72
Rabu, 24-09-2014 02:00
Rabu, 24-09-2014 09:00
SV.5309

Sumber : PPIH Kabupaten Cirebon


PMA 24 TAHUN 2014 PNBP NIKAH DILUAR KUA


Gunungjati ; 19/08/2014. Paska terbitnya Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014 kembali muncul. Peraturan Menteri Agama No. 24 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Nikah dan Rujuk di luar Kantor Urusan Agama diterbitkan pada tanggal 13 Agustus 2014.
PMA 24 tahun 2014 ini merevisi aturan sebelumnya yaitu PMA No. 71 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Biaya Pencatatan Nikah dan rujuk yang sudah tidak sesuai lagi paska terbitnya  PP No. 48 Tahun 2014 yang merevisi PP No.47 Tahun 2004 (pasal 23).
Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa dalam mekanisme penyetoran, calon pengantin wajib menyetorkan biaya nikah/rujuk ke Rekening bendahara penerimaan sebesar Rp. 600.000 pada Bank, namun apabila kondisi geografis, jarak tempuh atau tidak terdapat layanan bank pada wilayah kecamatan tersebut maka catin dapat menyetorkan biaya nikah atau rujuknya kepada PPS (Petugas Penerima Setoran) pada KUA yang telah ditunjuk berdasarkan SK dari Kepala Kemenag Kabupaten (pasal 6).
Hingga saat ini hanya ada 4 Bank yang bekerjasama dengan Kementerian Agama untuk menerima setoran biaya nikah tersebut yaitu BRI, BNI, MANDIRI dan BTN, namun masih ditemukan kendala karena beberapa Bank tersebut walau sudah ada MOU masih menerapkan biaya administrasi sehingga memberatkan kepada penyetor (catin), sementara cara pembayaran non tunai yang relatif lebih murah dan efisien baik melalui ATM, SMS dan Internet Banking selain melalui teller/kasir bank masih belum diakomodir oleh  Kementerian Agama , lihat pasal 9 yang menyatakan bahwa seluruh setoran biaya nikah/rujuk dilakukan dengan menggunakan slip setoran yang diterbitkan oleh Bank.
Dalam pelaksanaannya masih ditemukan kendala terkait dengan kebiasaan selama ini masyarakat enggan mengurus sendiri administrasi pendaftaran nikahnya dari mulai mengurus persyaratan hingga menyetorkan sendiri biaya nikah ke bank yang telah ditunjuk, dengan meminta bantuan kepada petugas yang biasa mengurusinya baik itu P3N, kesra, Amil atau nama lainnya sehingga menimbulkan pungutan tambahan diluar ketentuan biaya yang telah ditetapkan oleh peraturan sebesar Rp. 600.000,-. Masalah klasik ini sampai kapanpun tidak akan dapat terselesaikan dan tidak akan ada solusi yang berarti terkecuali masyarakat mengurus sendiri surat-surat kelengkapan administrasi dan biayanya. Sorotan lembaga lain atas hal ini tetap saja akan bermuara pada aparatur kementerian Agama yang dianggap tidak bisa mengendalikan dan mensosialisasikan peraturan baru tentang biaya ini padahal dalam aturan ini KUA tidak menerima sepeserpun uang masyarakat dan hanya menerima slip tanda penyetoran saja, kecuali KUA yang memiliki PPS.   
Adapun penggunaan kembali biaya tersebut pada pasal 11 dijelaskan untuk pembiayaan transport dan jasa profesi penghulu, pembantu PPN, pengelola PNBP Biaya NR, Kursus Pra Nikah dan Supervisi Administrasi NR. Hingga saat ini besaran biaya transportasi dan jasa profesi masih menunggu Peraturan Menteri Keuangan dan Edaran Direktur Jendral Bimas Islam. Adapun pelaksanaan Nikah di KUA pada jam dan hari kerja belum diatur dalam aturan apapun sehingga beberapa prosedur dan tata cara pelaksanaannya masih beragam dan menurut hemat penulis semestinya juga diatur dalam aturan tersendiri sebagaimana PMA ini juga mengatur tentang ketentuan bagi masyarakat yang tidak mampu dan korban bencana yang menghendaki nikah di luar kantor dengan biaya Rp.0,- yang diatur dalam pasal 19.

Kita berharap agar aturan lanjutannya cepat dikeluarkan agar penggunaan  kembali setoran tersebut  segera dapat direalisasikan tanpa harus menunggu lama sebelum keringat penghulu benar-benar kering karena hingga saat ini para penghulu yang telah menghadiri pelaksanaan akad nikah belum dibayarkan jasa profesi dan transportasinya.
Terbitnya regulasi baru biaya nikah ini pada beberapa tahun kedepan akan berdampak pada perubahan perilaku masyarakat. Saat ini belum begitu signifikan jumlah pernikahan di Kantor KUA karena budaya masyarakat masih menghendaki nikah di rumah dengan memanggil penghulu datang ke rumah, akan tetapi seiring dengan semakin baiknya infrastruktur dan pengetahuan masyarakat sehingga kantor KUA akan lebih terjangkau maka masyarakat akan lebih memilih menikah di KUA dengan biaya gratis daripada harus mengundang penghulu nikah dirumah dengan biaya lebih mahal, dan hal tersebut akan membudaya bukan pada level menengah kebawah akan tetapi pada level masyarakat menengah keatas sekalipun.
Apakah sudah menjadi pemikiran pembuat peraturan ini atas segala konsekuensi biaya gratis maka harus pula ditunjang dengan anggaran kantor yang memadai karena kalau masih mengandalkan penerimaan PNBP dari masyarakat sebagaimana yang saat ini dilaksanakan maka dengan perubahan budaya menikah di KUA dan tidak adanya perubahan operasional KUA yang memadai maka KUA cuma bisa gigit jari atas jerih payahnya selama ini. Menyadari akan paradigma baru pelayanan masyarakat dimana disebutkan dalam revisi UU Administrasi Kependudukan yang baru disahkan no. 24 Tahun 2013 dalam pasal 79A  disebutkan bahwa “Pengurusan dan Penerbitan Dokumen Kependudukan tidak dipungut biaya” sehingga biaya pencatatan nikah dalam PP no. 48/2014 ini juga digratiskan tentunya harus dibarengi dengan penganggaran yang memadai untuk operasional keberlangsungan Kantor Urusan Agama. Semoga menjadi bahan renungan bagi pemangku kebijakan di Kementerian Agama.



SOSIALISASI BIAYA NIKAH BARU

Gunungjati (18/07/2014): Berkaitan dengan adanya regulasi baru biaya nikah pasca terbitnya PP No, 48 Tahun 2014 dan surat Edaran Sekjen Kemenag yang menyatakan biaya tersebut mulai berlaku 10 JULI 2014, maka perlu segera disosialisasikan kepada masyarakat. Melalui perwakilan para Pembantu PPN dan Kaur Kesra Desa dari 15 Desa di Kecamatan Gunungjati telah dilakukan sosialisasi pada hari Jum'at tanggal 18 Juli 2014 pukul 13.30.
Atas pemberlakuan biaya baru ini, Kantor Urusan Agama Kecamatan Gunungjati menerbitkan peraturan baru tentang Prosedur dan Tatacara Pelaksanaan Nikah di Balai Nikah dengan biaya Rp. 0 rupiah alias gratis, sedangkan pelaksanaan di luar KUA atau istilah dahulu disebut BEDOLAN berlaku biaya sebesar Rp. 600.000,-
Aturan biaya nikah gratis sebagai berikut :


selengkapnya bisa di donlod disini.

Adapun pelaksanaan nikah di luar Kantor Urusan Agama sebagaimana dimaksud dalam revisi pasal 6 ayat (2) dibebankan biaya Rp. 600.000. Biaya tersebut disetor ke Rekening penampung pada Bank yang telah ditunjuk oleh Kementerian Agama antara lain BRI, BNI, MANDIRI dan BTN. adapun nomor rekeningnya menunggu aturan lebih lanjut. Untuk sementara biaya tersebut dititipkan ke Bendahara pembantu pada KUA sambil menunggu autran pelaksanaan selanjutnya.

update : 24/07/2014. 
NOMOR REKENING BENDAHARA PENERIMAAN PNBP KEMENAG RI

BRI (cab jkt cut mutia)         : 0230-01-002788-30-4
BTN (cab jkt kuningan)         : 00000001-01-30-555666-7
BNI (cab utama pacenongan) : 0346138083
MANDIRI (kcp jkt depag)       : 103-00-0622674-6

CONTOH SLIP SETORAN BANK :


Selengkapnya silahkan baca disini 



Copyright © 2011-2099 KUA GUNUNGJATI - Dami Tripel Template Level 2 by Ardi Bloggerstranger. All rights reserved.
Valid HTML5 by Ardi Bloggerstranger