Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menghadirkan sejumlah pihak terkait dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kali ini yang dibahas adalah batas usia pernikahan 16 tahun bagi perempuan. Sebelumnya Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) berkeberatan terhadap aturan batas usia pernikahan 16 tahun bagi perempuan.
Kali ini Mahkamah Konstitusi mendengarkan sejumlah tokoh agama yakni MUI, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), dan ormas Islam seperti PB NU dan PP Muhammadiyah. Tokoh agama dalam paparannya berbeda pandangan menyangkut batas usia perkawinan.
MUI meminta MK agar mempertahankan batas usia nikah 16 tahun bagi perempuan. Sebaliknya, Sebaliknya, PHDI mendukung pemohon yang meminta MK mengubah batas usia nikah. Sedangkan, Matakin memandang meski Konghucu mengatur batas usia pernikahan, tetapi Matakin menyerahkan sepenuhnya kepada aturan negara.
“Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan telah mengandung nilai-nilai agama (Islam), sehingga harus dinyatakan tetap konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Ketua Dewan Pimpinan MUI, Amidhan Shaberah dalam persidangan di gedung MK, Selasa (02/12).
MUI menegaskan hukum agama termasuk Islam tidak menetapkan batas usia pernikahan. Dalam agama Islam hanya mengatur baligh (kedewasaan) dengan beberapa tanda-tanda. Pertama, anak perempuan sudah berusia 9 tahun atau lebih dan telah mengalami haidh (menstruasi). Kedua, laki-laki atau perempuan telah berumur 9 tahun atau lebih dan pernah mengalami mimpi “basah”. Ketiga, laki-laki atau perempuan yang telah mencapai 15 tahun tanpa syarat haidh dan mimpi “basah”.
“Jadi, kedewasaan dalam Islam rentang usia 9 tahun hingga 15 tahun, sehingga penetapan batas usia nikah 16 tahun bagi wanita sudah sesuai kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai Islam,” ujar Amidhan.
Amidhan mengungkapkan penetapan batas usia minimal wanita untuk menikah 16 tahun merupakan ijtihad para ulama PPP di DPR saat pembahasan RUU Perkawinan. Diantaranya, KH Ali Yafie (NU), Tengku Saleh (Perti), Oka Abdul Aziz (Al-Washliyah) dan ulama di luar DPR seperti KH Abdullah Syafei, KH Syukri Gazali, dan KH Muhayat.
Alhasil, penetapan batas usia itu disetujui para ulama di DPR dan di luar DPR dengan catatan membuka ruang dispensasi dengan alasan tertentu. Sebab, kala itu masih terdapat banyak pernikahan anak di bawah umur 16 tahun. Menurutnya, penetapan batas usia nikah minimal 16 tahun bagi perempuan yang terumuskan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan agar tidak terjadi kesenjangan terlalu jauh dengan usia kedewasaan (baligh).
“Lagipula, sejak disahkannya hingga kini, UU Perkawinan telah diterima masyarakat dan terbukti tidak ada gejolak atau gerakan dari agama manapun yang meminta dibatalkan UU itu,” paparnya. “Jadi, pengaturan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan terutama frasa “16 tahun” tidak perlu dipermasalahkan karena tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.
Matakin memandang usia perkawinan bisa dilakukan saat usia dewasa. Menurut ajaran Matakin kedewasan bukan ditentukan oleh akil baliq, tetapi ditentukan dengan prosesi upacara ketika wanita memasuki usia 15 tahun dan laki-laki memasuki usia 20 tahun.
“Dalam agama Konghucu kapan boleh menikah, bagi wanita 5 tahun setelah upacara baru diperkenankan menikah, sedangkan bagi laki-laki 10 tahun kemudian,” ujar Wakil Ketua Deroh Matakin, Xs. Djaengrana Ongawijaya.
Meski begitu, dalam praktiknya batas usia perkawinan dalam agama Konghucu mengacu pada perkembangan kehidupan bangsa ini. Karena itu, pihaknya tidak menolak pengujian UU Perkawinan ini. Sebab, dalam Konghucu, pemerintah dianggap sebagai “bapak”, sehingga tidak boleh berdosa (menentang) terhadap negara (aturan negara).
“Kita tidak dalam posisi mendukung atau tidak, yang terpenting aturan yang ada tetap kita taati yang praktiknya disesuaikan dengan agama Konghucu. Kalau misalnya umat kami sudah berumur 16-17 tahun mau menikah ya kita juga tidak melarang,” katanya.
Perlu diubah
Menurut pandangan Hindu, perkawinan dapat dilakukan setelah mencapai usia dewasa. Usia dewasa bukan ditentukan datangnya menstruasi bagi wanita dan ciri-ciri akil baligh bagi laki-laki. Ciri-ciri itu baru menunjukkan mereka telah mencapai usia remaja atau baru dewasa secara fisik saja dan belum dianggap dewasa. “Kedewasaan sesungguhnya sesuai Susastra Hindu adalah secara jasmani dan mental telah memiliki kestabilan jiwa,” ujar Ketua Dewan Pakar PHDI Pusat, I Nengah Dana dalam sidang.
Merujuk kitab Nitisastra Kakawin dan kitab Canakya Niti III.18, dapat dipahami seseorang dianggap telah mencapai usia dewasa adalah setelah berumur lebih dari 16 tahun atau dimulai antara usia 16 sampai 20 tahun. Sementara dalam kitab Manu Smerti, usia layak kawin bagi wanita adalah setelah mencapai usia 19 tahun.
Akan tetapi, menurut beberapa penulis/akhli sastra, seperti Bhagawan Kullukabhata, Narayana, dan Raghawananda seperti dikemukakan dalam buku Perkawinan Menurut Hukum Hindu (Gde Pudja, MA. 1975 : 34), usia yang layak kawin bagi wanita adalah 18 tahun. Apabila ayahnya diharapkan menunggu 3 tahun lagi, maka ini berarti putrinya baru dikawinkan pada umur 21 tahun.
“Karena itu, frasa 16 tahun dalam pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan perlu dilakukan perubahan menjadi 18 tahun bagi calon pengantin wanita. Sementara frasa 19 tahun perlu dipertimbangkan untuk diubah menjadi 21 tahun bagi calon pengantin pria. Atau setidak-tidaknya sama dengan ketentuan saat ini yakni 19 tahun,” harapnya.
Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, Zumrotin dan Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak mempersoalkan batas usia perkawinan bagi wanita, yakni 16 tahun melalui pengujian Pasal 7 ayat (1), (2) UU Perkawinan. Mereka berpandangan norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi karena menjadi landasan dan dasar hukum pembenaran perkawinan anak yang belum mencapai 18 tahun.
Padahal, usia kedewasaan jika seseorang sudah mencapai usia 18 tahun sesuai Pasal 26 UU Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) khususnya frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai atau dibaca “18 tahun (delapan belas) tahun”. Namun, pemohon Koalisi Indonesia meminta MK membatalkan Pasal 7 ayat (2) karena bertentangan UUD 1945.
Kali ini Mahkamah Konstitusi mendengarkan sejumlah tokoh agama yakni MUI, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), dan ormas Islam seperti PB NU dan PP Muhammadiyah. Tokoh agama dalam paparannya berbeda pandangan menyangkut batas usia perkawinan.
MUI meminta MK agar mempertahankan batas usia nikah 16 tahun bagi perempuan. Sebaliknya, Sebaliknya, PHDI mendukung pemohon yang meminta MK mengubah batas usia nikah. Sedangkan, Matakin memandang meski Konghucu mengatur batas usia pernikahan, tetapi Matakin menyerahkan sepenuhnya kepada aturan negara.
“Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan telah mengandung nilai-nilai agama (Islam), sehingga harus dinyatakan tetap konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Ketua Dewan Pimpinan MUI, Amidhan Shaberah dalam persidangan di gedung MK, Selasa (02/12).
MUI menegaskan hukum agama termasuk Islam tidak menetapkan batas usia pernikahan. Dalam agama Islam hanya mengatur baligh (kedewasaan) dengan beberapa tanda-tanda. Pertama, anak perempuan sudah berusia 9 tahun atau lebih dan telah mengalami haidh (menstruasi). Kedua, laki-laki atau perempuan telah berumur 9 tahun atau lebih dan pernah mengalami mimpi “basah”. Ketiga, laki-laki atau perempuan yang telah mencapai 15 tahun tanpa syarat haidh dan mimpi “basah”.
“Jadi, kedewasaan dalam Islam rentang usia 9 tahun hingga 15 tahun, sehingga penetapan batas usia nikah 16 tahun bagi wanita sudah sesuai kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai Islam,” ujar Amidhan.
Amidhan mengungkapkan penetapan batas usia minimal wanita untuk menikah 16 tahun merupakan ijtihad para ulama PPP di DPR saat pembahasan RUU Perkawinan. Diantaranya, KH Ali Yafie (NU), Tengku Saleh (Perti), Oka Abdul Aziz (Al-Washliyah) dan ulama di luar DPR seperti KH Abdullah Syafei, KH Syukri Gazali, dan KH Muhayat.
Alhasil, penetapan batas usia itu disetujui para ulama di DPR dan di luar DPR dengan catatan membuka ruang dispensasi dengan alasan tertentu. Sebab, kala itu masih terdapat banyak pernikahan anak di bawah umur 16 tahun. Menurutnya, penetapan batas usia nikah minimal 16 tahun bagi perempuan yang terumuskan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan agar tidak terjadi kesenjangan terlalu jauh dengan usia kedewasaan (baligh).
“Lagipula, sejak disahkannya hingga kini, UU Perkawinan telah diterima masyarakat dan terbukti tidak ada gejolak atau gerakan dari agama manapun yang meminta dibatalkan UU itu,” paparnya. “Jadi, pengaturan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan terutama frasa “16 tahun” tidak perlu dipermasalahkan karena tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.
Matakin memandang usia perkawinan bisa dilakukan saat usia dewasa. Menurut ajaran Matakin kedewasan bukan ditentukan oleh akil baliq, tetapi ditentukan dengan prosesi upacara ketika wanita memasuki usia 15 tahun dan laki-laki memasuki usia 20 tahun.
“Dalam agama Konghucu kapan boleh menikah, bagi wanita 5 tahun setelah upacara baru diperkenankan menikah, sedangkan bagi laki-laki 10 tahun kemudian,” ujar Wakil Ketua Deroh Matakin, Xs. Djaengrana Ongawijaya.
Meski begitu, dalam praktiknya batas usia perkawinan dalam agama Konghucu mengacu pada perkembangan kehidupan bangsa ini. Karena itu, pihaknya tidak menolak pengujian UU Perkawinan ini. Sebab, dalam Konghucu, pemerintah dianggap sebagai “bapak”, sehingga tidak boleh berdosa (menentang) terhadap negara (aturan negara).
“Kita tidak dalam posisi mendukung atau tidak, yang terpenting aturan yang ada tetap kita taati yang praktiknya disesuaikan dengan agama Konghucu. Kalau misalnya umat kami sudah berumur 16-17 tahun mau menikah ya kita juga tidak melarang,” katanya.
Perlu diubah
Menurut pandangan Hindu, perkawinan dapat dilakukan setelah mencapai usia dewasa. Usia dewasa bukan ditentukan datangnya menstruasi bagi wanita dan ciri-ciri akil baligh bagi laki-laki. Ciri-ciri itu baru menunjukkan mereka telah mencapai usia remaja atau baru dewasa secara fisik saja dan belum dianggap dewasa. “Kedewasaan sesungguhnya sesuai Susastra Hindu adalah secara jasmani dan mental telah memiliki kestabilan jiwa,” ujar Ketua Dewan Pakar PHDI Pusat, I Nengah Dana dalam sidang.
Merujuk kitab Nitisastra Kakawin dan kitab Canakya Niti III.18, dapat dipahami seseorang dianggap telah mencapai usia dewasa adalah setelah berumur lebih dari 16 tahun atau dimulai antara usia 16 sampai 20 tahun. Sementara dalam kitab Manu Smerti, usia layak kawin bagi wanita adalah setelah mencapai usia 19 tahun.
Akan tetapi, menurut beberapa penulis/akhli sastra, seperti Bhagawan Kullukabhata, Narayana, dan Raghawananda seperti dikemukakan dalam buku Perkawinan Menurut Hukum Hindu (Gde Pudja, MA. 1975 : 34), usia yang layak kawin bagi wanita adalah 18 tahun. Apabila ayahnya diharapkan menunggu 3 tahun lagi, maka ini berarti putrinya baru dikawinkan pada umur 21 tahun.
“Karena itu, frasa 16 tahun dalam pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan perlu dilakukan perubahan menjadi 18 tahun bagi calon pengantin wanita. Sementara frasa 19 tahun perlu dipertimbangkan untuk diubah menjadi 21 tahun bagi calon pengantin pria. Atau setidak-tidaknya sama dengan ketentuan saat ini yakni 19 tahun,” harapnya.
Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, Zumrotin dan Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak mempersoalkan batas usia perkawinan bagi wanita, yakni 16 tahun melalui pengujian Pasal 7 ayat (1), (2) UU Perkawinan. Mereka berpandangan norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi karena menjadi landasan dan dasar hukum pembenaran perkawinan anak yang belum mencapai 18 tahun.
Padahal, usia kedewasaan jika seseorang sudah mencapai usia 18 tahun sesuai Pasal 26 UU Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) khususnya frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai atau dibaca “18 tahun (delapan belas) tahun”. Namun, pemohon Koalisi Indonesia meminta MK membatalkan Pasal 7 ayat (2) karena bertentangan UUD 1945.