Gunungjati ; 19/08/2014. Paska terbitnya Peraturan
Pemerintah No. 48 Tahun 2014 kembali muncul. Peraturan Menteri Agama No. 24
Tahun 2014 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Nikah
dan Rujuk di luar Kantor Urusan Agama diterbitkan pada tanggal 13 Agustus 2014.
PMA 24 tahun 2014 ini merevisi aturan sebelumnya yaitu PMA No. 71
Tahun 2009 tentang Pengelolaan Biaya Pencatatan Nikah dan rujuk yang sudah
tidak sesuai lagi paska terbitnya PP No.
48 Tahun 2014 yang merevisi PP No.47 Tahun 2004 (pasal 23).
Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa dalam mekanisme penyetoran,
calon pengantin wajib menyetorkan biaya nikah/rujuk ke Rekening bendahara
penerimaan sebesar Rp. 600.000 pada Bank, namun apabila kondisi geografis,
jarak tempuh atau tidak terdapat layanan bank pada wilayah kecamatan tersebut
maka catin dapat menyetorkan biaya nikah atau rujuknya kepada PPS (Petugas
Penerima Setoran) pada KUA yang telah ditunjuk berdasarkan SK dari Kepala
Kemenag Kabupaten (pasal 6).
Hingga saat ini hanya ada 4 Bank yang bekerjasama dengan Kementerian
Agama untuk menerima setoran biaya nikah tersebut yaitu BRI, BNI, MANDIRI dan
BTN, namun masih ditemukan kendala karena beberapa Bank tersebut walau sudah
ada MOU masih menerapkan biaya administrasi sehingga memberatkan kepada
penyetor (catin), sementara cara pembayaran non tunai yang relatif lebih murah
dan efisien baik melalui ATM, SMS dan Internet Banking selain melalui
teller/kasir bank masih belum diakomodir oleh
Kementerian Agama , lihat pasal 9 yang menyatakan bahwa seluruh setoran
biaya nikah/rujuk dilakukan dengan menggunakan slip setoran yang diterbitkan
oleh Bank.
Dalam pelaksanaannya masih ditemukan kendala terkait dengan kebiasaan selama ini masyarakat enggan mengurus sendiri administrasi pendaftaran nikahnya dari mulai mengurus persyaratan hingga menyetorkan sendiri biaya nikah ke bank yang telah ditunjuk, dengan meminta bantuan kepada petugas yang biasa mengurusinya baik itu P3N, kesra, Amil atau nama lainnya sehingga menimbulkan pungutan tambahan diluar ketentuan biaya yang telah ditetapkan oleh peraturan sebesar Rp. 600.000,-. Masalah klasik ini sampai kapanpun tidak akan dapat terselesaikan dan tidak akan ada solusi yang berarti terkecuali masyarakat mengurus sendiri surat-surat kelengkapan administrasi dan biayanya. Sorotan lembaga lain atas hal ini tetap saja akan bermuara pada aparatur kementerian Agama yang dianggap tidak bisa mengendalikan dan mensosialisasikan peraturan baru tentang biaya ini padahal dalam aturan ini KUA tidak menerima sepeserpun uang masyarakat dan hanya menerima slip tanda penyetoran saja, kecuali KUA yang memiliki PPS.
Adapun penggunaan kembali biaya tersebut pada pasal 11 dijelaskan
untuk pembiayaan transport dan jasa profesi penghulu, pembantu PPN, pengelola
PNBP Biaya NR, Kursus Pra Nikah dan Supervisi Administrasi NR. Hingga saat ini
besaran biaya transportasi dan jasa profesi masih menunggu Peraturan Menteri
Keuangan dan Edaran Direktur Jendral Bimas Islam. Adapun pelaksanaan Nikah di KUA pada jam dan hari kerja belum diatur dalam aturan apapun sehingga beberapa prosedur dan tata cara pelaksanaannya masih beragam dan menurut hemat penulis semestinya juga diatur dalam aturan tersendiri sebagaimana PMA ini juga mengatur tentang ketentuan bagi masyarakat yang tidak mampu dan korban bencana yang menghendaki nikah di luar kantor dengan biaya Rp.0,- yang diatur dalam pasal 19.
Kita berharap agar aturan lanjutannya cepat dikeluarkan agar
penggunaan kembali setoran tersebut segera dapat direalisasikan tanpa harus
menunggu lama sebelum keringat penghulu benar-benar kering karena hingga saat
ini para penghulu yang telah menghadiri pelaksanaan akad nikah belum dibayarkan
jasa profesi dan transportasinya.
Terbitnya regulasi baru biaya nikah ini pada beberapa tahun kedepan
akan berdampak pada perubahan perilaku masyarakat. Saat ini belum begitu
signifikan jumlah pernikahan di Kantor KUA karena budaya masyarakat masih
menghendaki nikah di rumah dengan memanggil penghulu datang ke rumah, akan
tetapi seiring dengan semakin baiknya infrastruktur dan pengetahuan masyarakat
sehingga kantor KUA akan lebih terjangkau maka masyarakat akan lebih memilih
menikah di KUA dengan biaya gratis daripada harus mengundang penghulu nikah
dirumah dengan biaya lebih mahal, dan hal tersebut akan membudaya bukan pada
level menengah kebawah akan tetapi pada level masyarakat menengah keatas
sekalipun.
Apakah sudah menjadi pemikiran pembuat peraturan ini atas segala
konsekuensi biaya gratis maka harus pula ditunjang dengan anggaran kantor yang
memadai karena kalau masih mengandalkan penerimaan PNBP dari masyarakat
sebagaimana yang saat ini dilaksanakan maka dengan perubahan budaya menikah di
KUA dan tidak adanya perubahan operasional KUA yang memadai maka KUA cuma bisa
gigit jari atas jerih payahnya selama ini. Menyadari akan paradigma baru
pelayanan masyarakat dimana disebutkan dalam revisi UU Administrasi
Kependudukan yang baru disahkan no. 24
Tahun 2013 dalam pasal 79A disebutkan
bahwa “Pengurusan dan Penerbitan Dokumen Kependudukan tidak dipungut biaya”
sehingga biaya pencatatan nikah dalam PP no. 48/2014 ini juga digratiskan
tentunya harus dibarengi dengan penganggaran yang memadai untuk operasional
keberlangsungan Kantor Urusan Agama. Semoga menjadi bahan renungan bagi
pemangku kebijakan di Kementerian Agama.
Download PMA no. 24 Tahun 2014 disini