Eramuslim.com; Tidak ada satu kejadian di antara sekian banyak kejadian yang ditampakkan Allah Subhanahu wa
Ta’aladi hadapan hamba-Nya, melainkan agar kita bisa mengambil pelajaran dan
hikmah dari kekuasaan yang Allah tampakkan tersebut.
Yang pada akhirnya, kita dituntut untuk selalu mawas diri dan melakukan muhasabah.
Di antara bukti kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu, ialah terjadinya gerhana. Sebuah kejadian besar yang banyak dianggap
remeh manusia. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam justru memperingatkan umatnya untuk kembali ingat dan segera menegakkan
shalat, memperbanyak dzikir, istighfar, doa, sedekah, dan amal shalih tatkala
terjadi peristiwa gerhana. Dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya :
“Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya
keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula
karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka
berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah.”(Muttafaqun ‘alaihi)
PENGERTIAN
GERHANA
Dalam istilah fuqaha dinamakan kusûf. Yaitu hilangnya cahaya matahari atau
bulan atau hilang sebagiannya, dan perubahan cahaya yang mengarah ke warna
hitam atau gelap. Kalimat khusûf semakna dengan kusûf. Ada pula yang mengatakan kusûf adalah gerhana matahari, sedangkan
khusûf adalah gerhana bulan. Pemilahan ini lebih masyhur menurut bahasa. [1]
Jadi, shalat gerhana, ialah shalat yang dikerjakan dengan tata cara dan gerakan
tertentu, ketika hilang cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya.
HUKUM SHALAT
GERHANA
Jumhur ulama’ berpendapat, shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. Abu ‘Awanah Rahimahullah menegaskan wajibnya
shalat gerhana matahari. Demikian pula riwayat dari Abu Hanifah Rahimahullah, beliau memiliki
pendapat yang sama. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa beliau menempatkannya seperti
shalat Jum’at. Demikian pula Ibnu Qudamah Rahimahullah berpendapat, bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. [2]
Adapun yang lebih kuat, ialah pendapat yang mengatakan wajib, berdasarkan
perintah yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Imam asy-Syaukani juga menguatkan
pendapat ini. Demikian pula Shiddiq Hasan Khân Rahimahullah dan Syaikh al-Albâni Rahimahullah. [3] Dan Syaikh Muhammad bin Shâlih ‘Utsaimin Rahimahullah berkata: “Sebagian ulama berpendapat, shalat gerhana wajib hukumnya,
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (jika kalian melihat,
maka shalatlah—muttafaqun ‘alaih).
Sesungguhnya, gerhana merupakan peristiwa yang menakutkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Sallamberkhutbah dengan khutbah yang agung, menjelaskan tentang surga dan neraka.
Semua itu menjadi satu alasan kuat wajibnya perkara ini, kalaupun kita katakan
hukumnya sunnah tatkala kita melihat banyak orang yang meninggalkannya,
sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sangat menekankan
tentang kejadian ini, kemudian tidak ada dosa sama sekali tatkala orang lain
mulai berani meninggalkannya. Maka, pendapat ini perlu ditilik ulang, bagaimana
bisa dikatakan sesuatu yang menakutkan kemudian dengan sengaja kita
meninggalkannya? Bahkan seolah hanya kejadian biasa saja? Dimanakah rasa takut?
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan wajib, memiliki argumen sangat
kuat. Sehingga jika ada manusia yang melihat gerhana matahari atau bulan, lalu
tidak peduli sama sekali, masing-masing sibuk dengan dagangannya, masing-masing
sibuk dengan hal sia-sia, sibuk di ladang; semua itu dikhawatirkan menjadi
sebab turunnya adzab Allah, yang kita diperintahkan untuk mewaspdainya. Maka
pendapat yang mengatakan wajib memiliki argumen lebih kuat daripada yang
mengatakan sunnah. [4]
Dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin pun menyatakan, “Jika kita mengatakan
hukumnya wajib, maka yang nampak wajibnya adalah wajib kifayah.”
Adapun shalat gerhana bulan, terdapat dua pendapat yang berbeda dari
kalangan ulama.
Pendapat pertama. Sunnah
muakkadah, dan dilakukan secara berjama’ah seperti halnya shalat gerhana matahari.
Demikian ini pendapat Imam asy- Syâfi’i, Ahmad, Dawud Ibnu Hazm. Dan pendapat
senada juga datang dari ‘Atha, Hasan, an-Nakha`i, Ishâq dan riwayat dari Ibnu
‘Abbas Radhiallahu’anhu. [5] Dalil mereka:
“Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya,
keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula
karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka
berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai terang kembali.” (Muttafqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Tidak dilakukan
secara berjama’ah. Demikian ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Mâlik. [6] Dalilnya,
bahwa pada umumnya, pelaksanaan shalat gerhana bulan pada malam hari lebih
berat dari pada pelaksanaannya saat siang hari. Sementara itu belum ada riwayat
yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menunaikannya secara
berjama’ah, padahal kejadian gerhana bulan lebih sering dari pada kejadian
gerhana matahari.
Manakah pendapat yang kuat? Dalam hal ini, ialah pendapat pertama, karena
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kepada
umatnya untuk menunaikan keduanya tanpa ada pengecualian antara yang satu
dengan lainnya (gerhana matahari dan bulan). [7]
Sebagaimana di dalam hadits disebutkan, “Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan
sahabat berdiri dalam shaf di belakangya.”(Muttafaqun ‘alaihi)
Ibnu Qudamah Rahimahullah juga berkata, “Sunnah yang diajarkan,
ialah menunaikan shalat gerhana berjama’ah di masjid sebagaimana yang dilakukan
oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, walaupun boleh juga dilakukan sendiri-sendiri,namun
pelaksanaannya dengan berjama’ah lebih afdhal (lebih baik). Karena yang
dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ialah dengan berjama’ah.
Sehingga, dengan demikian, sunnah yang telah diajarkan ialah menunaikannya di
masjid.” [8]
WAKTU SHALAT
GERHANA
Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana
tersebut berakhir. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Oleh karena
itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai kembali
terang.” (Muttafaqun ‘alaihi).
KAPAN GERHANA
DIANGGAP USAI?
Shalat gerhana matahari tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara,
yaitu (1) terang seperti sediakala, dan (2) gerhana terjadi tatkala matahari
terbenam. Demikian pula halnya dengan shalat gerhana bulan, tidak ditunaikan
jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang seperti sediakala, dan (2) saat
terbit matahari. [9]
AMALAN YANG
DIKERJAKAN KETIKA TERJADI GERHANA
1.
Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir,
sedekah dan amal shalih. Sebagaimana sabda NabiShallallahu ‘alaihi wa Sallam,“Oleh karena itu, bila kaliannya melihat, maka berdoalah kepada Allah,
bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
2.
Keluar menuju masjid untuk menunaikan
shalat gerhana berjama’ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits,“Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri,
selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangnya.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
3.
Wanita keluar untuk ikut serta
menunaikan shalat gerhana, sebagaimana dalam hadits Asma’ binti Abu Bakr Radhiallahu’anhuma berkata,“Aku
mendatangi ‘Aisyah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala terjadi
gerhana matahari. Aku melihat orang-orang berdiri menunaikan shalat, demikian
pula ‘Aisyah aku melihatnya shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi) Jika dikhawatirkan
akan terjadi fitnah, maka hendaknya para wanita mengerjakan shalat gerhana ini
sendiri-sendiri di rumah mereka berdasarkan keumuman perintah mengerjakan
shalat gerhana.
4.
Shalat gerhana (matahari dan bulan)
tanpa adzan dan iqamah, akan tetapi diseru untuk shalat pada malam dan siang
dengan ucapan “ash-shalâtu jâmi’ah” (shalat akan didirikan), sebagaimana
disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu’anhuma, ia berkata:
Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diserukan “ash-shalatu jâmi’ah” (sesungguhnya shalat akan didirikan). (HR
Bukhâri)
5.
Khutbah setelah shalat, sebagaimana
disebutkan dalam hadits, ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata:
Sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, tatkala selesai shalat, dia berdiri
menghadap manusia lalu berkhutbah. (HR Bukhâri)
TATA CARA
SHALAT GERHANA
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa shalat gerhana dua raka’at.
Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam hal tata cara pelaksanaannya.
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama. Imam Mâlik, Syâfi’i,
dan Ahmad, mereka berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at. Pada setiap
raka’at ada dua kali berdiri, dua kali membaca, dua ruku’ dan dua sujud.
Pendapat ini berdasarkan beberapa hadits, di antaranya hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu, ia berkata,“Telah terjadi gerhana matahari pada
zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka beliau shalat dan orang-orang
ikut shalat bersamanya. Beliau berdiri sangat lama (seperti) membaca surat
al-Baqarah, kemudian ruku’ dan sangat lama ruku’nya, lalu berdiri, lama sekali
berdirinya namun berdiri yang kedua lebih pendek dari berdiri yang pertama,
kemudian ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua lebih pendek dari ruku’
pertama.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Hadits kedua, dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melaksanakan
shalat ketika terjadi gerhana matahari. Rasulullah berdiri kemudian bertakbir
kemudian membaca, panjang sekali bacaannya, kemudian ruku’ dan panjang sekali
ruku’nya, kemudian mengangkat kepalanya (i’tidal) seraya mengucapkan:
“Sami’allahu liman hamidah,” kemudian berdiri sebagaimana berdiri yang pertama,
kemudian membaca, panjang sekali bacaannya namun bacaan yang kedua lebih pendek
dari bacaan yang pertama, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, namun
lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian sujud, panjang sekali sujudnya,
kemudian dia berbuat pada raka’at yang kedua sebagimana yang dilakukan pada
raka’at pertama, kemudian salam…” (Muttafaqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Abu Hanifah
berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at, dan setiap raka’at satu
kali berdiri, satu ruku dan dua sujud seperti halnya shalat sunnah lainnya.
Dalil yang disebutkan Abu Hanifah dan yang senada dengannya, ialah hadits Abu
Bakrah, ia berkata:
“Pernah
terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ,
maka Rasulullah keluar dari rumahnya seraya menyeret selendangnya sampai
akhirnya tiba di masjid. Orang-orang pun ikut melakukan apa yang dilakukannya,
kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam shalat bersama mereka dua
raka’at.” (HR Bukhâri, an-Nasâ‘i)
Dari pendapat di atas, pendapat yang kuat ialah pendapat pertama (jumhur
ulama’), berdasarkan beberapa hadits shahih yang menjelaskan hal itu. Karena
pendapat Abu Hanifah Rahimahullah dan orang-orang yang sependapat
dengannya, riwayat yang mereka sebutkan bersifat mutlak (umum), sedangkan
riwayat yang dijadikan dalil oleh jumhur (mayoritas) ulama adalah muqayyad.
[10]
Syaikh al-Albâni Rahimahullah berkata, [11] “Ringkas kata, dalam
masalah cara shalat gerhana yang benar ialah dua raka’at, yang pada setiap
raka’at terdapat dua ruku’, sebagaimana diriwayatkan oleh sekelompok sahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan riwayat yang
shahih”. Wallahu a’lam.
Ringkasan tata cara shalat gerhana sebagai berikut.
1.
Bertakbir, membaca doa iftitah,
ta’awudz, membaca surat al-Fâtihah, dan membaca surat panjang, seperti
al-Baqarah.
2.
Ruku’ dengan ruku’ yang panjang.
3.
Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya
mengucapkan: sami’allahu liman hamidah.
4.
Tidak sujud (setelah bangkit dari
ruku’), akan tetapi membaca surat al-Fatihah dan surat yang lebih ringan dari
yang pertama.
5.
Kemudian ruku’ lagi dengan ruku’ yang
panjang, hanya saja lebih ringan dari ruku’ yang pertama.
6.
Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya
mengucapkan: sami’allahu liman hamidah.
7.
Kemudian sujud, lalu duduk antara dua
sujud, lalu sujud lagi.
8.
Kemudian berdiri ke raka’at kedua, dan
selanjutnya melakukan seperti yang dilakukan pada raka’at pertama.
Demikian secara ringkas penjelasan tentang shalat gerhana, semoga
bermanfaat.
Washallallahu
‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala ‘alihi washahbihi ajma’in.
Marâji’:
1.
Al-Mughni.
2.
Ar-Raudhah an-Nadiyah.
3.
Asy-Syarhul-Mumti’.
4.
Bidayatul-Mujtahid.
5.
Irwâ‘ul Ghalil.
6.
Raudhatuth-Thalibin.
7.
Shahîh Fiqih Sunnah.
8.
Tamamul-Minnah, dan lain-lain.
Catatan Kaki:
1.
Lisanul-‘Arab, Kasyful Qanna’, 2/60.
2.
Al- Mughni, Ibnu Qudamah, 3/330.
3.
Fathul-Bâri (2/612), Tamamul-Minnah
(261), ar-Raudhah an-Nadiyah (156).
4.
Syarhul-Mumti’, 5/237-240.
5.
Al- Umm (1/214), al- Mughni (2/420), al-
Inshaf (2/442), Bida yatul- Mujtahid (1/160), danMuhalla (5/95).
6.
Ibnu Abidin (2/183) dan
Bidayatul-Mujtahid (1/312).
7.
Shahîh Fiqih Sunnah, 1/433.
8.
Al-Mughni, 3/323.
9.
Al-Mughni (3/427), Raudhatuth-Thalibin
(2/87).
10. Shahîh Fiqih Sunnah, 1/437.
11. Irwâ‘ul Ghalil, 3/132
sumber:http://www.scribd.com/doc/9987281/Tatacara-Shalat-Gerhanadikutip secara lengkap sumber dari : http://www.eramuslim.com/shalat/adi-nurcahyo-tatacara-shalat-gerhana.htm#.VRacatKUdMg
Untuk yang membutuhkan contoh teks khutbah gerhana silahkan kunjungi : http://www.bekaldakwah.com/2014/10/contoh-khutbah-gerhana-bulan-atau.html