Jakarta (Pinmas) 22/02/2014 — Biaya pelayanan nikah diperkirakan
akan mencapai Rp1,2 triliun per tahun. Biaya itu mencakup anggaran
transportasi dan jasa profesi penghulu, honor pembantu petugas pencatat nikah,
serta biaya pembinaan perkawinan dan monitoring.
“Penghulu
akan menerima tunjangan transportasi lokal dan tunjangan profesi karena umumnya
mereka juga diserahi tugas lain sebagai pengkhutbah nikah dan pemimpin doa,”
terang Irjen Kemenag M. Jasin melalui pesan singkat yang diterima Pinmas,
Sabtu (22/02).
Untuk
mencari solusi atas polemik panjang penerimaan gratifikasi para penghulu
saat menikahkan di luar jam kerja, Kementerian Agama bersama kementerian
terkait lainnya telah menyiapkan amandemen PP No. 47 tahun 2004 tentang Tarif
Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Agama
yang mengatur biaya pencatatan nikah sebesar Rp30.000. Amandemen tersebut
difokuskan untuk merubah besaran biaya menjadi Rp50.000 apabila pencatatan
nikah dilakukan di kantor; Rp600.000 apabila pencatatan nikah dilakukan di luar
kantor; sedangkan yang miskin tidak dikenakan biaya.
Seluruh
biaya hasil pencacatan nikah tersebut disetor ke kas negara sebagai Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP). Sedangkan PP tentang Biaya Nikah ini sekarang sudah pada
tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Sambil
menunggu proses harmonisasi, Kementerian Agama menyiapkan Peraturan Menteri
Agama (PMA) yang akan mengatur pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) tentang
Biaya Nikah. PMA ini nantinya akan mengatur pendistribusian dukungan
dana kepada penghulu untuk kegiatan pencatatan nikah di luar kantor.
“Petunjuk
teknis/pelaksanaan PP yang baru atas biaya pencatatan nikah di luar kantor,
telah disusun dalam bentuk Peraturan Menteri Agama yang mengatur tatacara
penerimaan dan penyetoran, penyusunan dokumen anggarannya, tata cara
penggunaan, mekanisme pencairan, serta penatausahaan dan laporan,” terang
Jasin.
Dijelaskan
Jasin bahwa dasar acuan pendistribusian biaya nikah di luar kantor akan diatur
dalam 4 (empat) tipologi mapping wilayah berdasarkan jumlah peristiwa nikah.
Empat tipologi dimaksud terdiri dari:
Tipologi A:
peristiwa nikah di atas 100 per bulan. Diperkirakan terdapat di 208 KUA dengan
jumlah peristiwa nikah/tahun sebanyak 274.608 dan unit cost per peristiwa Rp235.000
(Rp110.000 biaya transport dan Rp125.000 biaya profesi).
Tipologi B:
peristiwa nikah 50 – 99 per bulan. Diperkirakan terdapat di 1.048 KUA dengan
jumlah peristiwa nikah/tahun sebanyak 775.364 dan unit cost per peristiwa
Rp260.000 (Rp110.000 biaya transport dan Rp150.000 biaya profesi).
Tipologi C:
peristiwa nikah 0 – 49 per bulan. Diperkirakan terdapat di 3.827 KUA dengan
jumlah peristiwa nikah/tahun sebanyak 1.044.588 dan unit cost per peristiwa
Rp310.000 (Rp110.000 biaya transport dan Rp200.000 biaya profesi).
Tipologi D
yang terbagi menjadi dua, yaitu: pertama, Tipologi D-1: peristiwa
nikah 0 – 49 per bulan dan KUA berlokasi di daerah terpencil atau
daerah perbatasan. Diperkirakan terdapat di 149 KUA dengan
jumlah peristiwa nikah/tahun sebanyak 29.229 dan unit cost per peristiwa
Rp1.250.000 (Rp750.000 biaya transport dan Rp500.000 biaya profesi);
Kedua,
Tipologi D-2: peristiwa nikah 0 – 49 per bulan dan KUA berlokasi di
daerah terluar dan terdalam dan/atau membutuhkan transportasi khusus.
Diperkirakan terdapat di 150 KUA dengan jumlah peristiwa nikah/tahun
sebanyak 30.000 dan unit cost per peristiwa Rp1.500.000 (Rp1.000.000 biaya
transport dan Rp500.000 biaya profesi);
“Dengan
total peristiwa nikah per tahun mencapai 2.153.759, anggaran yang dibutuhkan
untuk biaya transportasi dan jasa profesi penghulu mencapai Rp671,5 miliar,”
terang Jasin.
Selain itu, PMA ini
juga mengatur honor pembantu petugas pencatat nikah sebesar Rp200.000 per bulan
untuk 25.188 orang di pulau Jawa dan Rp250.000 per bulan untuk 35.789 orang di
luar pulau Jawa. Adapun komponen biaya lainnya yang akan diatur dalam PMA ini
adalah biaya bimbingan/pembinaan perkawinan, manajemen, dan monitoring.
Jasin
menegaskan bahwa setelah PP dan PMA yang mengatur biaya nikah ini
diberlakukan, maka jangan ada lagi penghulu yang menerima gratifikasi.
Menurutnya, penghulu yang menerima gratifikasi dari masyarakat harus melaporkan
penerimaan itu ke KPK.
Bila tidak
lapor, lanjut Jasin, maka penghulu tersebut akan mendapat sanksi hukum yang
berat sebagaimana diatur dalam pasal 12 B, UU No 31 1999 jo UU No. 20
tahun 2001.
“Ancaman
hukumannya 20 tahun penjara/seumur hidup, denda 1 milyar rupiah,
sekurang-kurangnya Rp250 juta,” terang Jasin.
“Masyarakat
harus diedukasi untuk tidak memberi” tambah Jasin.
Ditanya
kapan aturan ini akan diberlakukan, Jasin mengatakan “ikan sepat ikan gabus,
lebih cepat lebih bagus. “Jika bisa Februari, itu lebih bagus,” pungkas Jasin.
(mkd/mkd)