DetikRamadhan
(8/8/2013) -
Ranking 1 sampai 37 ditempati negara-negara Barat, negara-negara mayoritas
muslim justru terpuruk. Masyarakat muslim gagal bersungguh sungguh memahami dan
mengimplementasikan ajaran Islam.
Demikian benang merah paparan Richo Wibowo,
mahasiswa program doktor ilmu hukum, yang disampaikan pada tausiyah dan berbagi
wawasan sosial Islam di komunitas muslim dan pelajar Indonesia pada buka puasa
terakhir di Utrecht, Belanda, Rabu malam atau Kamis (8/8/2013) pagi WIB.
Membedah jurnal hasil penelitian Rehman
Scheherazade S dan Hossein Askari dari George Washington University tentang
Indeks Keislaman, Richo memaparkan bahwa dari 208 negara yang disusun menurut
indeks ini, Selandia Baru justru berada di puncak, Belanda di urutan ke-9.
Indeks Keislaman versi Rehman dan Askari adalah
metode mengukur kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Islam dengan menggunakan
empat sub-indeks yang berkaitan dengan ekonomi, hukum dan pemerintahan,
kemanusiaan dan hak-hak politik, serta hubungan internasional.
Agama Islam antara lain menekankan tentang
perlindungan hak milik pribadi, kepastian eksekusi kontrak, perlindungan kepada
kaum miskin papa, tata-pemerintahan yang baik, hak asasi manusia dan sebagainya.
Dari 208 yang diteliti dan disusun oleh Rehman
dan Askari berdasarkan indeks tersebut ternyata negara-negara mayoritas
berpenduduk muslim justru terpuruk di posisi bawah, tertinggi adalah Malaysia
di urutan ke-38, sedangkan Indonesia di posisi ke-140.
"Fenomena di atas disebabkan oleh gagalnya
masyarakat Islam dalam bersungguh sungguh memahami dan mengimplementasikan
ajaran Islam," ujar Richo, sependapat dengan pemikiran intelektual Muslim
Umer Chopra.
Menurut Richo, penelitian Rehman dan Askari
memang tidak bertujuan untuk menjelaskan mengapa situasi di atas dapat terjadi,
melainkan lebih bertujuan untuk membuat peringkat, yang kelak dapat digunakan
oleh pembaca untuk melakukan refleksi apa dan mengapa negaranya berada di suatu
peringkat tertentu.
Agamawan di negara-negara berpenduduk mayoritas
muslim dinilai terlampau berkutat pada pencerdasan masyarakat di sektor ibadah
ritual semata, namun mengabaikan aspek agama yang sifatnya sosial-substansial.
"Dengan kata lain, masalah tersebut
disumbang kuat oleh kegagalan umat dalam membangun kualitas pendidikan,
sehingga umat terpuruk dalam aneka masalah tanpa paham dengan baik strategi
dalam menghadapi masalah. Akibatnya, umat hanya berputar putar di masalah
sama," imbuh Rico.
Berkaca pada Masjid Jogokaryan Yogyakarta
Richo kemudian
mengajak untuk melihat pengalaman terbaik di masjid Jogokaryan Yogyakarta.
Masjid tersebut mampu mengumpulkan infaq dan shadaqah dari masyarakat untuk
difokuskan pada kegiatan sosial, termasuk sektor pendidikan.
Apabila masjid-masjid pada umumnya bangga
mengumumkan sisa saldo infaknya, masjid Jogokaryan selalu berupaya keras agar
saldo tersebut bisa kosong. Uang infaq dan shadaqah tersebut selalu diupayakan
untuk disalurkan untuk aneka kegiatan, termasuk kepada mereka yang membutuhkan,
baik untuk makan hingga untuk biaya sekolah.
Mengutip keterangan Salim A. Fillah, Rico
mengatakan bahwa para takmir masjid tersebut memiliki prinsip "mengumumkan
kekayaan masjid sementara ada warga sekitar yang sedang membutuhkan adalah
bentuk atas tragedi dalam berdakwah."
"Apa yang dilakukan oleh takmir tersebut
menunjukkan bahwa urusan agama tidak berhenti pada aspek formil semata seperti
berinfak atau bersedekah, namun masuk ke substansi bersedekah: memastikan bahwa
uang yang disumbangkan tersebut dapat membantu kaum yang lemah dan
terpinggirkan," demikian Rico.
3 Keunikan
Koordinator Divisi Sosial Kemasyarakatan PPI
Utrecht, Cici Tri Wanita dalam keterangan persnya kepada detikRamadan
menyebutkan bahwa kegiatan masyarakat dan pelajar Indonesia di Utrecht selama
Ramadan sebagai suatu keunikan.
Keunikan pertama, terdapat pembagian khas antara
peran warga dan pelajar dalam melaksanakan kegiatan bersama tersebut. Pembicara
untuk kegiatan tausiyah disiapkan oleh warga yang dipayungi organisasi Bina
Dakwah dan Stichting Generasi Baru. Sedangkan pembicara untuk wawasan Islam
berasal dari pelajar yang tergabung dalam PPI Utrecht.
Keunikan kedua adalah nuansa multikultur yang
amat kental. Audiensnya bukan saja orang Indonesia, tetapi juga umat muslim
asli Belanda, Turki, Suriname, Malaysia, dan Singapura.
Keunikan ketiga lahir dari keunikan kedua di
atas, yaitu tantangan sekaligus peluang dalam melakukan komunikasi. Sebagaimana
terlihat dari jamaah yang hadir, maka terdapat enam bahasa yang digunakan,
bahasa Indonesia, Belanda, Inggris, Turki, Melayu, dan Jawa.
Hambatan komunikasi yang kerap terjadi adalah
banyak warga, khususnya non-Indonesia, lebih mahir berkomunikasi dengan bahasa
Belanda. Padahal mayoritas pelajar Indonesia tidak mahir berbahasa Belanda,
karena kuliah di Belanda menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.
"Akhirnya untuk kenyamanan semua pihak,
dalam komunikasi lebih banyak menggunakan bahasa Inggris. Aneka keterbatasan
komunikasi tersebut justru membuat seluruh pihak berupaya melatih kemampuan
bahasa mereka," pungkas Cici.
Acara tausiyah dan berbagi wawasan sosial Islam
di Utrecht biasanya ditutup dengan acara buka bersama yang disiapkan oleh ibu
ibu warga dan pelajar. Kmudian dilanjutkan dengan shalat fardhu dan tarawih
bersama.