ANALISA BIAYA NIKAH BERDIMENSI RUANG DAN WAKTU
Oleh : Ali Wahyuddin, S.Ag
“terkadang rasa kecewa yang mendalam disebabkan oleh harapan diri yang terlalu tinggi terhadap sesuatu” Kalimat bijak ini serasa tepat untuk menggambarkan perasaan para penghulu KUA seluruh Indonesia terhadap peraturan baru biaya nikah yang baru berjalan sebelas bulan ini. Pro dan kontra atas program kebijakan pemerintah menjadi hal lumrah akan tetapi bila mendatangkan lebih banyak masalah daripada menyelesaikan masalah bukanlah sebuah peraturan yang memihak kepada masyarakat. Awal tulisan ini dimulai dari analisa kebijakan menerapkan biaya gratis yang menjadi jargon pemerintah agar dipandang pro rakyat dengan kurang mempertimbangkan aspek lain dari akibat kebijakan tersebut terkait dengan pelayanan publik hingga analisis terhadap mekanisme PNBP yang perlu diakselerasikan kembali karena yang selama ini dilakukan banyak mengalami sumbatan.
Tarif Pelayanan Publik.
Apakah pelayanan nikah tergolong kepada Pelayanan publik, sudah tentu karena melihat definisi pelayanan publik merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Terkait dengan biaya pelayanan publik sebagaimana amanat UU No. 25 Tahun 2009 dalam pasal 31 dijelaskan ada dua model tarif/biaya pelayanan publik. Pertama: biaya/tarif pelayanan publik yang merupakan tanggungjawab negara dengan seluruh biaya dibebankan kepada negara dengan syarat apabila diwajibkan dalam peraturan perundangan-undangan. Kedua : biaya/tarif pelayanan publik selain yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan dibebankan kepada penerima pelayanan publik. Dalam penjelasan terkait dengan pasal 31 ayat (2) disebutkan bahwa pelayanan publik yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan yang biaya pelayanannya dibebankan kepada negara antara lain Kartu Tanda Penduduk dan Akta Kelahiran.
Bila pelayanan tersebut menjadi kewajiban negara maka biaya sepenuhnya ditanggung negara alias gratis, sedangkan bila bukan tanggungjawab negara maka bertarif tertentu dengan asumsi bahwa negara belum sanggup untuk memenuhi semua biaya pelayanan tersebut. Jadi sudah jelas bahwa pelayanan nikah bukan termasuk pada pelayanan yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan sehingga biaya pelayanan dibebankan kepada masyarakat pengguna layanan atau tidak gratis. Kesimpulan ini menjadi ambivalen ketika PP biaya nikah menetapkan 2 tarif berbeda dengan membedakan tempat dilangsungkannya pelayan publik, bila dikantor gratis dan bila diluar kantor berbayar. Sebuah logika yang tidak memberikan kepastian hukum, kesamaan hak, persamaan perlakuan yang merupakan asas dari pelayanan publik itu sendiri.
Administrasi Kependudukan
Penunjukan KUA Kecamatan sebagai instansi pelaksana yang melaksanakan urusan administrasi kependudukan yang mendaftar peristiwa kependudukan dan mencatat peristiwa penting tertuang dalam pasal 8 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Disebutkan bahwa untuk pencatatan nikah, talak, cerai dan rujuk bagi penduduk yang beragama Islam pada tingkat kecamatan dilakukan oleh pegawai pencatat pada KUA Kecamatan.
Yang menjadi sorotan utama terkait dengan pembahasan ini adalah munculnya pasal 79A yang masuk dalam UU No,24 tahun 2013 yang merupakan perubahan dari UU adminduk yang menyatakan bahwa “ pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan tidak dipungut biaya”, namun dijelaskan pula dalam pasal 87A bahwa pendanaan penyelenggaraan program dan kegiatan administrasi kependudukan yang meliputi kegiatan fisik dan non fisik, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dianggarkan dalam APBN.
Dikaitkan dengan apa yang diuraikan diatas dalam UU pelayanan publik, apakah seluruh rangkaian pencatatan administrasi kependudukan ini seluruhnya diluar KTP dan Akte Kelahiran sudah menjadi pelayanan publik yang menjadi kewajiban negara sehingga harus dibiayai negara dan digratiskan kepada masyarakat ? ...
Bila itu yang terjadi, maka apakah dalam pencatatan nikah yang hingga saat ini masih terjadi dikotomi antara non Agama Islam yang dicatat di Kantor Catatan Sipil yang sepenuhnya tunduk pada UU adminduk ini, dan pencatatan nikah bagi warga beragama Islam yang dilaksanakan pada KUA Kec yang tunduk pada Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk juga harus digratiskan ?.........
UU Pencatatan Nikah
Kewajiban dan kewenangan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama Kecamatan dalam pencatatan perkawinan diatur dalam UU no. 22 Tahun 1946. Dalam kaitannya dengan pembahasan dalam artikel ini terkait biaya nikah, dapat disimak dalam pasal 1 ayat (4) yang menyatakan bahwa : “seorang yang nikah, menjatuhkan talak atau merujuk, diwajibkan membayar biaya pencatatan yang banyaknya ditetapkan oleh Menteri Agama, dan mereka yang dapat menunjukkan surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desanya (kelurahannya) tidak dipungut biaya. Surat keterangan ini diberikan dengan percuma. Biaya pencatatan nikah, talak dan rujuk dimasukkan di dalam Kas Negeri menurut aturan yang ditetapkan Menteri Agama”.
Sejak dahulu hingga sebelum terbitnya PP No. 48 Tahun 2014 regulasi biaya pencatatan nikah tetap menyebutkan angka besaran pencatatan nikah walaupun nominalnya berubah-ubah dari Rp.10.000 hingga mencapai Rp. 30.000,- sebagaimana amanat Undang-undang. Adapun yang digratiskan adalah bagi mereka yang bisa menunjukkan surat keterangan tidak mampu baru bisa bebas bea. Sangat mengherankan ketika amanat UU tersebut kemudian dibiaskan dengan sekat ruang dan waktu yang membedakan tarif pelayanan publik yang tentunya dalam undang-undang pelayanan publik sendiri tidak ada. Bila nikah di Kantor KUA pada jam dan hari kerja maka gratis, diluar jam kerja dan pada hari libur walau tempat di KUA tetap dikenakan tarif. Nikah diluar Kantor KUA pada jam kerja atau diluar jam kerja atau pada hari libur dikenakan tarif, sementara yang dapat menunjukkan surat keterangan tidak mampu dapat bebas bea.
Beragam aturan ini dengan sekat ruang dan waktu ini yang menimbulkan kesan tidak profesional, tidak memberikan kepastian serta tidak adanya persamaan perlakuan terhadap masyarakat sebagai pengguna layanan. Selama ini saya tidak pernah menemukan aturan yang dibatasi oleh ruang dan waktu ini dalam layanan publik di instansi lain sehingga wajar kalau kemudian ada yang menyimbulkan bahwa pemerintah yang menerbitkan PP no. 48 tahun 2014 yang kemudian disempurnakan menjadi PP No. 19 Tahun 2015 ini tidak membahasnya secara matang dan berpotensi melanggar aturan yang lebih tinggi.
Alangkah baiknya polemik ini diakhiri dengan menentukan tarif yang pantas untuk layanan nikah di Kantor KUA lebih rendah dibandingkan dengan tarif pelayanan di luar kantor KUA dan tetap memberikan peluang gratis bagi yang tidak mampu dengan membawa Surat Keterangan tidak mampu baik dilaksanakan di KUA maupun diluar KUA. Setidaknya besaran tarif layanan di kantor KUA dihitung sekiranya cukup untuk membayar Jasa profesi bagi penghulu yang membimbing pelaksanaan akan nikah, sementara ketika pelaksanaan diluar KUA penghulu selain mendapatkan jasa profesi juga mendapatkan biaya transportasi.
Skema PNBP-NR
Biaya nikah yang disetorkan ke Bandahara penerimaan yang selanjutnya disetorkan ke Kas Negara menggunakan mekanisme Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sehingga memungkinkan 80% dari setoran tersebut dapat digunakan kembali oleh instansi untuk membiayai kegiatan yang tertuang dalam DIPA.
Perlu diketahui bahwa ada 2 model PNBP. Pertama : PNBP yang setorannya terpusat, yaitu penyetoran, pencatatan, pembukuan dan pelaporannya dilaksanakan oleh kantor pusat kementarian/lembaga dan penggunaan dananya dialokasikan pada kantor-kantor daerah. Untuk model ini pencairan dana diatur secara khusus dengan surat edaran dirjen PBN tanpa melampirkan SSBP. Kedua : PNBP yang setorannya tidak terpusat, yaitu penyetoran, pencatatan, pembukuan dan pelaporan dilaksanakan oleh masing-masing kantor/instansi dan dapat langsung dipergunakan.
Model PNBP inilah yang perlu difahami oleh penghulu yang seringkali berteriak dan bertanya-tanya kenapa pencairannya selalu terlambat dan lama karena PNBP yang dilaksanakan saat ini adalah midel PNBP yang setorannya terpusat sehingga teknis pencairannya kembali harus menunggu terbitnya surat Edaran dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan. Tidak seperti PNBP sebelum PP ini yang menggunakan model PNBP tidak terpusat dan dikelola oleh masing-masing daerah dan dapat dipergunakan kapan saja selama pagu anggaran di DIPA mencukupi.
Kenapa mekanisme PNBP terpusat yang diambil oleh Kementerian Agama dalam penyetoran dan penggunaan biaya nikah ini, dilatarbelakangi konsep subsidi silang antara daerah yang gemuk dan daerah yang kurus agar sama-sama merasakan manfaat dari keduanya. Yang dimaksudkan adalah antara daerah yang banyak peristiwa nikahnya dengan tipologi A,B dan C bisa membantu daerah yang bertipologi D1 dan D2. Setoran biaya nikah ditetapkan sama untuk semua tipe sedangkan pengambalian dananya dibagi variatif berdasarkan tipologi KUA. Semakin besar tipologinya mendapatkan pengembalian yang lebih besar.
Namun pada tataran pelaksanaanya ternyata banyak mengalami hambatan, terutama karena pagu penggunaan kembali ditetapkan berdasarkan lingkup kabupaten/kota dengan tetap memperhitungkan besaran setoran dari wilayah tersebut. Memungkinkan akan terjadinya pemerataan atas konsep yang digagas pencetus ide ini bila dalam satu kabupaten kota lebih banyak terdapat KUA yang bertipologi A,B dan C dibbandingkan dengan yang bertipologi D1 dan D2. Yang banyak terjadi adalah dalam satu kabupaten/kota terutama diluar jawa malah lebih banyak tipologi D1 dan D2 dibandingkan dengan tipologi lainnya. Untuk pulau jawa yang rata-rata bertipologi A,B,C saja konsep ini relatif aman dilaksanakan, akan tetapi karena pencairan harus menunggu terbitnya SE dirjan PB maka kendala yang terjadi adalah keterlambatan pencairan dan tidak dapat dicairkan setiap bulan.
Menurut hemat penulis, alangkah baiknya model PNBP ini dikembalikan saja kepada model PNBP tidak terpusat. Dengan model ini maka setoran dari catin dapat langsung ke kas negara dengan menggunakan SSBP atau dengan rekening penampung di Bendahara penerimaan Kabupaten/Kota kemudian disetorkan ke kas negara dengan SSBP, penggunaan kembali dananya bisa dilakukan lebih cepat sehingga tidak merampas hak-hak para penghulu yang akan menerima dana tersebut setelah merampungkan pekerjaannya.
Adapun solusi untuk daerah dengan tipologi D1 dan D2 yang membutuhkan biaya lebih tinggi karena keadaan geografisnya, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan menerapkan tarif biaya lebih tinggi. Sangat sulit untuk menentukan satu tarif untuk semua wilayah di Indonesia kerena kondisi geografisnya dan nilai inflasi yang berbeda. Seharusnya biaya nikah ditetapkan berdasarkan tipologi KUA agar penggunaannya kembali mencukupi kebutuhan di daerah tersebut. Minimalnya terbagi dalam 2 kategori saja, tipologi A,B dan C satu tarif dan tarif berbeda untuk tipologi D1, D2. Diharapkan dengan model biaya seperti ini dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat dan memberikan kesejahteraan bagi para penghulu yang melayani masyarakat pengguna layanan KUA. Semoga menjadi bahan pemikiran bagi pengambil kebijakan untuk bahan revisi Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2015 tentang PNBP yang berlaku pada Kementerian Agama.
(penulis adalah Penghulu pada KUA Kec. Gunungjati Kab Cirebon dan Wakil Sekretaris APRI Jawa Barat)