Indonesia kini
berada dalam peringkat tertinggi negara-negara yang menghadapi angka perceraian
(marital divorce) paling banyak dibandingkan negara-negara berpenduduk muslim
lainnya. Berdasarkan data yang diungkap Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama,
setiap tahun ada dua juta perkawinan, tetapi yang memprihatinkan perceraian
bertambah menjadi dua kali lipat yaitu setiap 100 orang yang menikah 10
diantaranya bercerai. Tidak sedikit perceraian terjadi pada mereka yang baru berumah tangga.
Perkawinan yang
banyak mengalami kegagalan sebagian besar adalah perkawinan di kalangan muslim.
Tingginya angka perceraian bukan sebuah fenomena yang wajar dalam kehidupan
masyarakat. Perceraian pada kalangan
masyarakat menengah-bawah terutama karena faktor ekonomi. Tetapi saat ini
perceraian banyak terjadi pada lapisan masyarakat menengah – atas yang sudah
mapan secara ekonomi dan sosial.
Dulu, kondisi
yang lebih parah terjadi dalam dekade 1950-an yaitu sebelum berdirinya BP4
(Badan Penasihatan, Pembinaan dan pelestarian Perkawinan) dan sebelum lahirnya
Undang-undang Perkawinan. Penanggulangan yang dilakukan pada masa itu ialah
upaya yang dipelopori HSM Nasarudin Latif selaku perintis BP4 dan Kepala KUA
Provinsi Jakarta Raya bahwa setiap suami istri yang akan mengajukan perceraian
pada Pengadilan Agama harus terlebih dahulu datang ke kantor penasihat
perkawinan untuk sedapat mungkin dirukunkan dan diselesaikan perselisihannya.
Lembaga penasehat perkawinan ketika itu mengambil peranan sebagai mediasi,
yakni mencegah perceraian selagi belum diajukan ke Pengadilan Agama. Upaya
tersebut terbukti berhasil menurunkan angka perceraian secara signifikan.
Kini, pada
sebagian kalangan masyarakat perkawinan sudah tidak dianggap lagi sebagai
pranata sosial yang sakral, sehingga ketika terjadi masalah atau perselisihan,
perceraian langsung menjadi pilihan utama. Padahal ikatan perkawinan bukan
semata-mata ikatan perdata. Banyaknya perceraian belakangan ini juga ditengarai
sebagai dampak globalisasi arus informasi yang mengganggu psikologi masyarakat
melalui multi media yang menampilkan figur artis dan selebriti dengan bangga
mengungkapkan kasus perceraiannya.
Penulis tertarik
dengan pembinaan perkawinan di Singapura sewaktu berkunjung ke negara tersebut
menjelang akhir 2007 lalu. Setiap calon pengantin diwajibkan mengikuti kursus
pranikah, yang di Singapura disebut Kursus Bimbingan Rumah Tangga. Untuk calon
pengantin muslim, peserta kursus bimbingan rumah tangga memperoleh sijil
(sertificate) yang diiktiraf oleh jabatan pernikahan Islam setempat. Selain
Singapura atau Malaysia, di beberapa negara Eropa, nasihat sebelum perkawinan
diperoleh pasangan yang hendak menikah, setara dengan kuliah satu semester,
sementara di Indonesia hanya sekitar 30 menit saat berhadapan dengan penghulu.
Prof.Dr.Zakiah
Darajat, ahli ilmu jiwa agama yang banyak memberikan perhatian terhadap masalah
kesejahteraan keluarga oernah menyatakan, jika kita tanyakan kepada orang tua
yang mempunyai anak yang sudah mencapai usia dewasa awal, bahkan usia remaja,
tentang apa yang mereka pikirkan, jawabannya hampir sama, yaitu masalah jodoh
bagi anaknya. Jarang kita dengar tentang car membekali putra-putri mereka
menghadapi kehidupan berkeluarga kelak. Hal ini menggambarkan betapa lemahnya
pemikiran orang tua tentang pembekalan putra-putri nya yang telah diambang
pernikahan. Padahal untuk suatu pekerjaan sederhana sekalipun, orang perlu
dipersiapkan. Namun untuk menjadi seorang suami yang akan menjadi kepala rumah
tangga atau seorang istri yang akan menjadi pendamping suami, pengatur
kehidupan rumah tangga dan cepat atau lambat akan menjadi pengasuh, pendidik
dan pembimbing anak-anak yang lahir didalam keluarga itu nanti, tidak ada
kursus atau sekolahnya. Setiap pengantin hanya diantar dengan doa, ditambah
sedikit nasihat pernikahan dari orang yang dipandang dapat memberikannya.
Ditengah
tingginya potensi instabilitas rumah tangga dan banyaknya perceraian, maka
pendidikan dan pembekalan kepada pasangan yang hendak menikah adalah salah satu
cara yang paling mungkin dilakukan. Upaya tersebut akan berfungsi ganda sebagai
edukasi nilai-nilai perkawinan disemua level masyarakat maupun sebagai langkah
untuk memperbaiki mutu perka winan dan mengurangi perceraian.
Pemerintah
bersama BP4 perlu mengambil langkah strategis untuk memperkuat lembaga
perkawinan dan mengurangi perceraian. Langkah yang dapat dilakukan ialah
kewajiban mengikuti kursus pranikah dan bimbingan rumah tangga bagi calon
pengantin di seluruh tanah air. Disamping itu langkah lainnya ialah
revitalisasi peran BP4 untuk bertindak sebagai mediasi dalam penyelesaian
kasus perceraian diluar peradilan atau
out of court settlement. Penulis optimis, upaya diatas yang kini telah berjalan
diharapkan dapat mengurangi perceraian.
Dalam kaitan
itu, Peraturan Menteri Agama RI tentang pencatatan nikah perlu secara eksplisit
memuat ketentuan mengenai kewajiban mengikuti kursus pranikah dan bimbingan
rumah tangga bagi calon pengantin yang akan menyampaikan pemberitahuan kehendak
menikah kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA). Hal
ini sejalan dengan pernyataan Menteri Agama RI sejak beberapa tahun lalu yang
telah menginstruksikan kepada Direktorat Urusan Agama Islam supaya membuat
terobosan program guna memperkuat lembaga perkawinan, diantaranya lewat
pendidikan pranikah.
Sedangkan
lembaga yang ditugaskan untuk menyelenggarakan kursus pranikah dan bimbingan
rumah tangga itu adalah BP4 Pusat dan Daerah denga sumber dana APBN dan APBD.
Disamping itu dapat diselenggarakan oleh Lembaga swasta secara swadana dengan
akreditasi dan sertifikasi diberikan oleh BP4. Jika bukan sekarang kapan lagi
kita berbuat lebih serius memperkuat nilai-nilai perkawinan dan rumah tangga di
tengah masyarakat.
Pada hemat
penulis, penguatan lembaga perkawinan sama mendesaknya dengan penanggulangan
bencana moral dan pergaulan bebas yang kini melanda para remaja kita. Betapa
tidak risau, norma standar dan nilai-nilai yang seharusnya menjadi simpul
pengikat perkawinan dan kehidupan rumah tangga muslim belakangan ini tampak
semakin pudar pengaruhnya di masyarakat.
Semua kalangan
tentu sepakat bahwa mempersiapkan perkawinan yang mempunyai tujuan mulia
sebagai ibadah kepada Allah Swt berarti meletakkan fondasi yang kokoh bagi
mahligai rumah tangga dan masa depan satu generasi. Begitu pula, menyelamatkan
perkawinan dan rumah tangga yang sedang dirundung masalah berarti menyelamatkan
satu generasi.
(Ditulis
oleh : M.Fuad Nasar, MSc dalam Majalah Perkawinan Keluarga Edisi No. 466/2011
hal 15-18).