Baru juga beberapa hari kita memasuki bulan syawal ditengah hiruk pikuknya arus mudik dan balik masyarakat untuk merayakan Idul Fitri, disisi lain persiapan menjelang Idul Adha sudah mulai nampak dengan maraknya para calon haji menyelenggarakan Syukuran atau Walimatus Safar. Berangkat haji masih dipandang sebagai peristiwa besar yang perlu dirayakan seperti halnya ketika merayakan perkawinan dan khitanan.
Animo masyarakat untuk berangkat haji yang begitu besar menjadi fenomena tersendiri mengingat kuota haji yang terbatas pada setiap tahunnya. Daftar tunggu (waiting list) untuk tiap daerah berkisar rata-rata 2-3 tahun bahkan ada yang sampai puluhan tahun. Untuk Kabupaten Cirebon saja menurut data terakhir tanggal 22 Agustus 2011 dari Seksi Haji dan Umroh jumlah pendaftar sejumlah 12.168 orang dengan asumsi kuota yang sama dengan tahun ini maka daftar tunggu mencapai tahun 2017 . Hal ini terjadi karena ditunjang oleh berbagai fasilitas yang diberikan oleh perbankan terutama bank-bank syariah berlomba memberikan fasilitas pinjaman yang harus diangsur selama 3 tahun dengan setoran awal yang cukup ringan sekitar 2 jutaan saja sudah mendapatkan nomor porsi. Tak ubahnya mendaftar haji sama dengan mengajukan kredit sepeda motor saja.
Namun timbul dalam benak kecil saya, apakah yang mendorong animo besar masyarakat untuk berhaji padahal uang yang harus dikeluarkan cukup besar berkisar antara 30-40 Juta per orang. Apakah betul niat tulus untuk menyempurnakan rukun Islam kelima, atau semata mengejar gelar “haji” saja atau hanya untuk meningkatkan status sosial mereka di mata masyarakat saja. Tentunya niat dan maksud hanya ada pada hati mereka masing-masing.
Menurut saya yang tidak terlalu paham dengan hakikat syariat islam memandang bahwa haji adalah rukun islam kelima dan dituntut kemampuan untuk melakukannya. Kemampuan yang dimaksud Pertama adalah kemampuan materi karena untuk datang ke Saudi arabia harus dikeluarkan ongkos yang cukup besar, dalam hal ini pemerintah setiap tahun menetapkan BPIH sebagai payung hukum besarnya ongkos naik haji yang ditetapkan setelah dibahas bersama dengan DPR setiap tahun yang menurut saya kurang efektif karena masyarakat harus menunggu lama kelarnya pembahasan ini sebelum melakukan pelunasan sehingga berpotensi terganggunya jadwal tahapan ibadah haji bila penetapan ini terlalu a lot dibahas, alangkah baiknya bila BPIH ni diatur flat untuk beberapa tahun misalnya 2 tahun sekali dengan mempertimbangkan kurs dolar dan harga minyak dunia, sehingga ketika harga minya turun bisa saving untuk menutupi kemungkinan bila naik kembali tahun mendatang dan bisa juga bila kekurangan ditutupi dari biaya optimalisasi yang sumbernya dari simpanan BPIH yang telah disetorkan jama’ah waiting list. Kedua adalah kemampuan fisik untuk menjalankan semua ritual manasik yang begitu berat dengan cuaca dan musim yang sangat berbeda dengan di tanah air. Untuk itu pemeriksaan kesehatan dan vaksinasi telah digencarkan namun sedikit kendala vaksin halal kerap menjadi polemik hingga ditemukannya vaksin yang benar-benar murni tidak tercampur bahan non halal. Ketiga adalah kemampuan pikiran/otak atau kecerdasan agama untuk dapat mempelajari tatacara manasik berserta bacaan dan doa yang harus dilafalkannya. Terobosan yang telah dilakukan adalah penyelenggaraan bimbingan manasik yang efektif mulai di tingkat KBIH, KUA Kecamatan dan tingkat Kabupaten/Kota hingga di embarkasi telah dilaksanakan. Terkait dengan ketiga kemampuan tersebut maka tentunya haji yang merupakan rukun Islam kelima erat kaitanya dengan empat rukun Islam yang sebelumnya karena haji adalah penyempurna dari keseluruhannya. Bila dirangkaikan maka orang yang berhaji adalah manusia yang memiliki kadar ketauhidan yang mantap dalam hati dengan taqwa yang melekat didalamnya, rajin dan selalu mengerjakan shalat, mengerjakan puasa serta menunaikan zakat. Bila dalam kemampuan pertama didukung dengan setoran pelunasan BPIH, pasport dan tiket pesawat sebagai kemampuan materi, point kedua kemampuan jasmani didukung dengan hasil cek kesehatan sedangkan bukti pendukung untuk kemampuan ketiga belum nampak bahkan tak terpikirkan oleh Kementerian Agama. Sebaiknya untuk point ketiga kecerdasan dan kemampuan agama ini didukung dengan buku pula yang memuat aktivitas keagamaan calon jemaah semisal diketahui oleh pengurus masjid (DKM) setempat dimana calon jamaah sering melakukan aktifitas jama’ah shalat dan Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ) dari Badan Amil Zakat (BAZ) atau LAZ dimana mereka seringkali menunaikan zakatnya baik zakat mal maupun profesi. Kedua institusi tersebut ada dalam binaan langsung kementerian Agama sehingga diharapkan calon-calon jama’ah haji ini memmpunyai kemampuan riil dan memiliki kesalehan sosial dimasyarakat yang merupakan aplikasi nyata wujud dari kemabruran haji sepulangnya dari tahan suci nanti. Tentunya bila sebelum haji telah melaksanakan hal tersebut maka sepulangnya dari Tanah Suci dan menyandang predikat Haji sebagai penyempurna keislamannya akan lebih meningkat lagi dibandingkan sebelum berangkat haji. Semoga ini menjadi pemikiran bersama sehingga banyaknya jumlah jama’ah haji kita bukan sekedar menjadi buih karena efeknya hanya berpengaruh pada pribadi-pribadi saja akan tetapi harus menjadi akselerator bagi kesejahteraan rakyat yang ada disekelilingnya sebagai dampak dari haji mabrurnya. Wallahu a’lam. (aldin)