MUI:Putusan MK Sembrono, Over Dosis & Bertentangan dengan Ajaran Islam
JAKARTA (VoA-Islam) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tersebut sangat berlebihan, melampaui batas, dan bersifat “over dosis” serta bertentangan dengan ajaran Islam dan pasal 29 UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tersebut telah melampaui permohonan yang sekadar menghendaki pengakuan hubungan keperdataan atas anak dengan bapak hasil perkawinan, tapi tidak dicatatkan kepada KUA, menjadi meluas mengenai hubungan keperdataan atas anak hasil hubungan zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
MUI memandang, putusan MK tersebut memiliki konsekwensi yang sangat luas, termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak hasil zina dan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, dimana hal demikian tidak dibenarkan oleh ajaran Islam.
Dalam Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya, menyatakan: “Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.”
Akibat putusan MK yang sembrono itu, kini kedudukan anak hasil zina dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban memperoleh nafkah dan terutama hak waris.
“Jelaslah putusan MK ini telah menjadikan lembaga perkawinan menjadi kurang relevan, apalagi sekadar pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak hasil perkawinan yang sah tersebut. Hal ini, kami nilai sangat menurunkan derajat kesucian dan keluhuran lembaga perkawinan. Bahkan pada tingkat ekstrim, dapat muncul pendapat tidak dibutuhkan lembaga perkawinan, karena orang tidak perlu harus menikah secara sah apabila dikaitkan dengan perlindungan hukum anak,” kata Ichwan Sam menambahkan.
Selain itu, MUI menilai, putusan MK telah membuka “kotak Pandora” yang selama ini kita jaga, yakni terbukanya peluang besar bagi berkembangnya pemikiran dan perilaku sebagian orang untuk melakukan hubungan di luar perkawinan (perzinahan) tanpa perlu khawatir dengan masa depan anak (terutama kekhawatiran dari pihak perempuan pasangan zina). Karena walaupun tidak dalam ikatan perkawinan (zina), toh anak hasil hubungan zina tersebut tetap memiliki hak nafkah dan hak waris yang sama dengan anak yang lahir dari perkawinan yang sah.
Jelas, Putusan MK tersebut telah mengganggu, mengubah, bahkan merusak hukum waris Islam yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah. Terlebih Putusan MK itu menyatakan, anak yang lahir dari hasil hubungan zina akan mendapat waris dari lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
“Padahal hukum waris Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah secara tegas dan jelas menyebutkan kategori anak yang mendapat harta waris, dan anak yang lahir dari hasil hubungan zina jelas tidak memperoleh hak waris dari lelaki yang mengakibatkan kelahirannya,” kata KH. Ma’ruf Amin.
MUI menilai MK telah keliru, seolah –olah anak hasil hubungan zina tidak mendapat perlindungan hukum. Yang benar, menurut MUI, adalah anak dari hasil hubungan zina tersebut memiliki perlindungan hukum, tetapi perlindungan hukum yang tidak sama dengan anak dalam ikatan perkawinan, dimana yang satu hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sedangkan yang satunya lagi dengan bapak dan ibunya.Dan itulah gunanya lembaga perkawinan.
Melenyapkan perbedaan perlindungan hukum atas kedua kondisi itu akan menjadikan lembaga perkawinan menjadi sesuatu yang tidak relevan, hal ini tidak dapat diterima oleh agama Islam.
Merujuk Hadits
Perbedaan perlindungan hukum antara anak dari hasil hubungan zina dengan anak dalam ikatan perkawinan, telah diterangkan dalam beberapa hadits shahih yang menentukan bahwa anak hasil hubungan zina tidak memiliki hubungan keperdataan dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Nabi Muhammad Saw bersabda: “Anak adalah bagi yang empunya hamparan (suami), dan bagi pezina batu (tidak berhak mendapat anak yang dilahirkan dari hubungan di luar nikah melainkan diserahkan kepada ibunya). (HR. Bukhari-Muslim, Malik dan Abu Daud).
Dalam kasus li’aan dimana suami menuduh istri berzina, anak tidak ikut bapaknya dari segi nasab, tetapi ibunya. Sebagaimana hadits Abu Daud: “dan Rasul menetapkan agar anaknya tidak dinasabkan kepada seorang ayah pun.” Dalam hadits Imam Ahmad, ditetapkan agar anak ikut si wanita atau ibunya. Desastian
Sumber : http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/03/14/18167/muiputusan-mk-sembrono- over-dosis-bertentangan-dengan-ajaran-islam/
Catatan Penulis :
Dalam posting sebelumnya (http://kuagunungjati.blogspot.com/2012/02/ kontroversi-anak-diluar-nikah-dalam.html) penulis telah menyampaikan bagaimana alur persidangan dan kasimpulan akhir dari keputusan kontroversial MK tentang kasus anak diluar nikah yang bisa dinasabkan kepada ayah/Bapaknya. Akibat putusan ini MUI mengeluarkan fatwa terkait hal tersebut dengan menyatakan bahwa ““Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.”
Setuju apa yang disampaikan MUI bahwa putusan MK tersebut “over dosis” dan terlalu melebar dari perkara yang diajukan oleh pengusul yaitu Machicha Mochtar yang hanya ingin status anaknya hasil perkawinan sirinya dinasabkan juga kepada ayahnya. Sejatinya bunyi putusan MK hanya mengakui hubungan perdata dengan ayahnya atas anak yang dilahirkan dari pernikahan yang tidak tercatat atau nikah siri, bukannya anak yang dilahirkan diluar pernikahan (baca: tanpa nikah=anak zina). Jika Pengertian anak diluar pernikahan yang dimaksud UU adalah anak yang dilahirkan diluar pernikahan resmi maka bunyi putusannya menjadi “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan resmi ( lahir dalam pernikahan tidak tercatat) mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya."
Dengan bunyi putusan seperti diatas kiranya relevan dengan apa yang diajukan pemohon dan tidak mencederai UU perkawinan, walaupun dalam sisi lain berdampak pada asumsi bahwa masyarakat yang melakukan nikah sirri pun anaknya bisa dinasabkan kepada ayahnya sehingga menimbulkan keengganan untuk mencatatkan pernikahannya, tetapi tidak meniadakan sama sekali lembaga perkawinan karena jika ingin diakui sebagai anak maka harus melalui lembaga perkawinan walaupun pernikahannya belum tercatat.
Menurut hemat saya, selama ini perkara yang diajukan uji materilnya terkait dengan status anak dari perkawinan sirri dalam nikah poligami bisa diajukan pengesahannya melalui isbat nikah di Pengadilan Agama untuk mendapatkan keabsahan pernikahannya. Bisakah permohonan Ijin Poligami dan Penetapannya diajukan sekaligus, seperti dalam kasus permohonan perceraian bagi perempuan yang menikah sirri (tidak tercatat) dilakukan isbath terlebih dahulu kemudian baru proses perceraiannya. Hal tersebut juga semestinya bisa berlaku untuk pengajuan ijin poligami kemudian dilanjutkan dengan penetapan pernikahannya. Yang berhak memberikan jawaban tentunya para hakim di pengadilan Agama apakah diatur dalam prosedur beracara penulis kurang memahami akan hal tersebut.
Terlanjur telah ditetapkan putusan MK yang bersifat final tentunya tidak bisa lagi dajukan upaya banding maupun kasasi dan Fatwa MUI No.11 Tahun 2012 juga telah dikeluarkan sebagai upaya jawaban atas keresahan umat atas putusan tersebut, maka posisi tersulit ada di jajaran Kementerian Agama. Sebagai pemerintah semestinya Kemenag patuh pada putusan MK, akan tetapi putusan fatwa MUI yang merupakan kumpulan para ulama dan cendekiawan tak bisa disepelekan karena menyangkut kepentingan sebagian besar umat muslim dinegeri ini, akan kemanakah kemenag berpijak………..,. akankah kemudian kita kembali berpikir primordial dan sarat SARA…. Bagi umat Muslim wajib patuhi fatwa MUI dan bagi Non Muslim selama tidak bertentangan dengan ajaran agamanya silahkan ikuti putusan MK………, kita tunggu saja babak selanjutnya dari polemik ini.