JAKARTA - Pembahasan Rancanan Undang-undang
Aparatur Sipil Negara (RUU ASN) kini memasuki tahap uji publik. Dalam masa
sosialisasi ini, terdapat pro kontra pada butir-butir aturan baru PNS. Di
antaranya, urusan perpanjangan usia pensiun dan transparansi program promosi
jabatan eselon.
Wakil Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Wamen PAN-RB) Eko Prasojo menuturkan,
RUU ASN seharusnya sudah digedok bulan lalu. Tetapi karena saat itu perhatian
fokus pada urusan harga BBM (bahan bakar minyak), pengesahan RUU ASN tertunda.
Dia memperkirakan, RUU ini baru bisa digedok DPR pada Juni mendatang.
Guru besar Universitas Indonesia
itu menuturkan, dalam masa uji public, RUU ASN muncul berbagai tanggapan.
Terutama di kalangan pemerintah daerah, yaitu pemprov, pemkot, dan pemkab. “Ini
aturan baru yang merobah pola birokrasi lama, tentu ada yang mendukung dan
menolak,” tutur dia.
Di antara poin yang menjadi perdepatan adalah aturan baru tentang pensiun.
Aturan yang berlaku saat ini, usia pensiun PNS yang duduk di jabatan eselon I
dan II adalah 56 tahun. Lalu dapat diperpanjang lagi hingga 58 tahun, dan
perpanjangan lagi hingga 60 tahun.
“Dalam praktiknya, keputusan usulan perpanjangan usia
pensiun eselon I dan II ini rentan memicu konflik,” kata dia. Dari pantauan
Eko, kebijakan memperpanjang atau tidak usia pensiun PNS eselon I dan II sering
didasari rasa suka dan tidak suka dari pejabat pembina kepegawaian. Yaitu
bupati, walikota, gubernur, hingga presiden.
Banyak pejabat eselon I dan II diperpanjang usia
pensiunnya karena kedekatannya dengan kepala daerah. Kedekatan ini bisa dipicu
antara lain karena PNS yang bersangkutan menjadi tim sukses dalam pemilihan
kepala daerah. Padahal belum tentu PNS ini memiliki kompetensi bagus. “Jangan
sampai ada istilah putra mahkota di birokrasi,” jelas Eko.
Sebaliknya, ada pejabat eselon I dan II yang
kompetensinya bagus namun tidak diberi kesempatan atau ditolak pengajuan
perpanjangan usia pensiunnya. Kasus ini bisa terjadi di antaranya karena PNS
tadi dianggap berseberangan secara politik dari kepala daerah. Iklim seperti
ini menurut Eko rentan terjadi konflik internal di pemerintahan.
Dengan kecenderungan ini, maka dalam RUU ASN, pejabat
eselon I dan II langsung diperpanjang usia pensiunnya tanpa pengajuan ke
atasannya. RUU ASN ini mengatur usia pensiun pejabat eselon I dan II adalah 60
tahun.
Perpanjangan usia pensiun juga untuk PNS selain eselon
I dan II. Usia PNS non eselon I dan II yang saat ini dipatok 56 tahun, diubah
menjadi 58 tahun. Alasannya, meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia.
Selain itu juga merujuk pada rata-rata usia pensiun PNS di negara lain yakni
60-62 tahun.
Aturan perubahan usia pensiun ini mendapat penolakan
dari kepala daerah yang sering memanfaatkan usulan perpanjangan usia pensiun
untuk mengamankan kedudukannya. Dengan perpanjangan usia pensiun secara
otomatis ini, kepala daerah nakal sudah tidak memiliki lagi kesempatan untuk
mempermainkan usulan perpanjangan usia pensiun anak buahnya.
Butir aturan lain yang juga menuai pro dan kontra
adalah aturan promosi jabatan yang dijalankan secara terbuka. Selama ini, kata
Eko, promosi jabatan di hampir semua lini pemerintahan di Indonesia dijalankan
secara diam-diam atau terima beres.
Setelah RUU ASN ini digedok, kata Eko, ada lembaga
khusus yang menyimpan data base seluruh aparatur negara yang layak untuk
promosi jabatan. Lembaga khusus ini adalah Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Komisi ini nantinya akan menjadi ujung tombak promosi jabatan eselonisasi.
Menurut Eko, RUU ASN ini mengibaratkan posisi PNS yang
duduk di kursi eselon seperti pasukan khusus di TNI. “Mereka itu Kopassusnya
birokrasi,” ujar dia. Para PNS yang duduk di kursi eselon ini bisa
dipindahtugaskan kemanapun di penjuru Indonesia. Jika tidak ingin dipindah,
maka tidak boleh duduk sebagai pejabat eselon.
“Baik itu eselon di daerah maupun di pusat, bisa
diratotasi ke penjuru Indonesia,” pungkas Eko. Dengan cara ini, seluruh wilayah
di Indonesia tidak akan kekurangan pejabat-pejabat eselon yang handal.
Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo mengatakan
pembahasan RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) memang tengah jeda. Dalam rapat
terakhir, pemerintah meminta waktu untuk melakukan koordinasi internal. “Mereka
ingin menyamakan persepsi dulu,” kata Ganjar.
Beberapa materi yang ingin dibicarakan secara “internal”
oleh pemerintah terkait nomenklatur jabatan eksekutif senior dan komposisi
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Lembaga baru ini yang diproyeksikan bakal
menseleksi para pejabat yang nantinya dikategorikan sebagai eksekutif senior.
Misalnya, pejabat eselon I dan sekda.
DPR sendiri bisa memahami dan memberi “dispensasi”
waktu. Tapi, penyelesaian RUU ASN tetap ditargetkan harus selesai pada masa
sidang mendatang. Saat ini DPR masih menjalani masa reses dan dibuka kembali
pada 14 Mei.
“Pembahasan RUU ini sudah memakan dua masa sidang.
Jadi, masa sidang mendatang itu tambahan,” ujarnya.
Menanggapi soal rencana perpanjangan usia pensiun PNS
menjadi 58 tahun dan khusus untuk eselon II sampai 60 tahun, Ganjar menegaskan
DPR tidak dalam posisi yang kaku menolak atau menerima. DPR hanya meminta
pemerintah memberikan penjelasan yang lebih gamblang mengenai efek dari
perpanjangan usia pensiun itu.
“Kalau diundur sampai dua tahun, apa sih efeknya
terhadap kinerja, grafik jumlah pensiun, dan regenerasi PNS. Hal “hal ini yang
kami minta diperjelas. Kalau visible tidak soal,” tegas Ganjar.