Setiap orang yang
memutuskan untuk menikah dan membangun ruma tangga tentu mtngharapkan suatu
kehidupan suami istri yang bahagia, rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
warahmah. Namun pada kenyataannya keadaan itu tidak terwujud begitu saja tetaoi
melalui suatu proses kehidupan yang panjang. Karena setiap pasangan yang
menikah memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda, sehingga proses
penyatuan yang panjang agar ikatan perkawinan kuat.
Perkawinan merupakan suatu hal yang suci dan sakral, karena perkawinan
adalah ikatan yang terhormat, bersih dan tak boleh ducapur adukkan kedngan
berbagai hal yang menimbulkan penyakit. Untuk itu perlu tanggung jawab besar
dan perlu dipikul oleh mereka yang akan memasuki kehidupan rumah tangga.
Bagaimanapun tanggung jawab perlu dikenalan dari awal harus disadari
benar bahwa rusaknya tatanan rumah tangga, misalnya oerceraian adalah suatu
yang amat tidak dikehendaki. Oleh sebab itu kesiapan pribadi haruslah
dimatangkan sebelum memasuki jenjang kehidupan rumah tangga. Berikut ini
beberapa kiat khusus yang perlu diperhatikan oleh meereka yang akan memasuki
mahligai perkawinan.
Kedewasaan dan Kemandirian.
Ibarat tonggak yang akan menjadi penopan gutama bangunan rumah
tangga, seorang calon suami atau istri haruslah cukup dewasa, matang dan
mandiri. Untuk ketiga hal ini ada beberapa dimensi yang dapat dikemukakan
antara lain :
Pertama
: kematangan emosional. Kematangan emosional in
dimaksudkan untuk melihat dan menilai apakah seorang telah mampu melepaskan
diri dari ketergantungan kepada orang-orang yang selama ini dominan terhadap
dirinya, terutama orang tua.
Selama ini
sering kita jumpai sebuah rumah tangga muda dimana suami dan istri tidak dapat
saling mengikat diri dengan kuat. Artinya istri masih merasa ikatan emosionalnya
lebih erat dengan orang tuanya atau suami yang belum dapat bertanggungjawab
secara penuh.
Hal yang
demikian bisa saja terjadi bila pelaku perkawinan itu belum mandiri dan belum
matang secara emosional. Dan tentunya rumah tangga yang dimiliki cukup rawan, sebab
terjadi perbedaan yang menimbulkan ketegangan,
akan mudah berantakan, bahkan seringkali berakhir dengan perceraian.
Kedua,
kematangan sosial yaitu kemampuan seseorang
untuk berhubungan dengan orang lain secara sehat dan memuaskan. Sehingga ia
akan mampu memahami kondisi orang lain, bahkan kelebihan maupun kekurangannya. Selaiknya,
ia juga dapat menerima kekurangan dan kelebihan dirinya. Dengan pemahaman
seperti ini ia tidak akan menyulitkan diri sendiri dan juga tidak menyulitkan
orang lain.
Tidak adanya kematangan sosial
dalam diri suami istri akan membuat mutu komunikasi menjadi buruk oleh sebab
itu diperlukan kesabaran serta kedewasaan dalam diri maupun pasangan suami
istri bila menemukan hal-hal yang tidak disukai dari diri maupun prilaku
pasangannya.
Ketiga, kemandirian sikap dan prinsip atau
juga bisa disebut kematangan spiritual. Inilah yang berkaitan langsung dengan
nilai kearifan sebagai seorang yang beragama yang punya kemantapan iman.
Keempat, kemandirian finansial.
Walaupun kita tidak berorientasi materialistik, tetapi kita perlu bersikap realistik
bahwa kebutuhan rumah tangga itu kontinyu dan banyak variasinya.
Usia
Nikah
Hal penting lain yang berkait
dengan pertanyaan kapan saat terbaik menikah adalah masalah usia. Secara integral,
masalah usia pernikahan itu terdiri dari sudut pandang fisik, mental dan
produktivitas.
Pandangan medis menyatakan usia ideal wanita untuk melahirkan anak
adalah usia 20 sampai dengan 30 tahun. Karenanya diantara nterval usia itulah
wanita dianjurkan untuk menikah.
Kemudian masalah produktivitas ekonomis. Sejak kecil orang harus
dididik untuk mendapatkan ketrampilan profesional dan life skill. Inilah bekal
yang penting bagi kehidupan kelak dikemudian hari artinya, ia sudah
dipersiapkan mandiri secara ekonomi.
Zaman sekarang ini seakan menawarkan model kehidupan yang menyempit,
kalau tak boleh disebut mundur. Karena orang di masa kini diharuskan menempuh
masa studi yang demikian panjang tanpa dibarengi dengan life skill yang
memadai. Dengan panjangnya masa studi ini sampai melewati masa baligh dan
bahkan dewasanya, sehingga tak sedikit mereka sudah menyelesaikan masa studi
dan sudah dewasa, tetapi belum apa-apa dan tergantung secara ekonomis belum
berani melangkah. Sebagai akibatnya, perbuatan yang tak terpuji pun dilakukan
misalnya hamil diluar nikah akibat seks bebas.
Tak dapat dipungkiri kalau hal yang demikian sudah menjadi sistem
hidup yang umum. Karena itu yang penting sekarang aalah bagaimana menyiasati
kondisi yang ada, dengans mengembangkan life skill itu kemudian berlatih edini
mungkin dengan aktivitas ekonomis. Tapi hati-hati jangan sampai berorientasi
materialistis.
Kondisi Lain.
Sebagai bahan pertimbangan lain, bisa ditambahkan di sini
kondisi-kondisi yang mungkin bisa menghambat atau sebaliknya malah mendukung
peoses pernikahan.
Hal pertama yang diperhatikan adalah kondisi sosial ekonomi keluarga
. kekurangan dari segi ekonomi seringkali menjadi penghambat. Orang tua
biasanya berharap anaknya dapat membantu perekonomian keluarga sebelum menikah.
Dalam pikiran kebanyakan orang tua, bila anaknya sudah menikah, maka
perhatian finansial pasti akan terkonsentrasi pada rumah tangganya sendiri. Dengan
demikian sulit untuk diharapkan membantu orang tua atau saudara-saudara yang
belum menikah. Oleh karena itu seseorag yang waktunya menikah, haruslah
bersikap arif dalam memberikan pemahaman dalam bertindak. Karena itu
usahakanlah untuk terus menjalin komunikasi dengan keluarga orang tua.
Nah hal seperti ini tentu saja merupakan ujian yang tidak kita
inginkan. Untuk itu diperlukan pemahaman, kedewasaan, serta kesiapan yang baik
dalam memasuki jenjang perkawinan. (Perkawinan dan Keluarga No.425/2007 hal
19-21)