- SELAMAT BERQURBAN SEMOGA MENINGKATKAN KESHALIHAH SOSIAL - SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU BAGI PASANGAN YANG BARU MENIKAH- IKUTI KURSUS PRANIKAH BAGI PASANGAN CALON YANG AKAN MENIKAH SETIAP HARI RABU - CEK BUKU NIKAH ANDA DI http://simkah.kemenag.go.id/infonikah atau klik SIMKAH ONLINE - NIKAH DI KANTOR BEBAS BEA- NIKAH DI LUAR KUA RP.600.000 DISETOR KE BANK - TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA
PERNIKAHAN PENDERITA HIV/AIDS, APA HUKUMNYA (BAG-2)

PERNIKAHAN PENDERITA HIV/AIDS, APA HUKUMNYA (BAG-2)


Minggu, 08 Januari 2012 05:20 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,  Lalu bagaimana dengan penikahan antarsesama penderita HIV/AIDS? Komisi Fatwa MUI menyatakan, pernikahan antara perempuan dan laki-laki penderita HIV/AIDS hukumnya boleh. 

Komisi Fatwa MUI dalam fatwanya menyatakan, penyakit HIV/AIDS dapat dijadikan alasan untuk menuntut perceraian apabila salah satu dari suami-istri menderita penyakit tersebut. Lalu bagaimana jika pasangan itu tetap bertekad untuk melanjutkan pernikahannya?

MUI menyatakan, jika pasasangan suami-istri atau salah satunya menderita HIV/AIDS, maka keduanya boleh bersepakat untuk meneruskan perkawinan mereka. Dalilnya adalah hadis Nabi SAW: ‘’Orang-orang Islam terikat dengan perjanjian mereka, kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.’’

‘’Suami atau istri yang menderita HIV/AIDS dalam melakukan hubungan seksual wajib menggunakan alat, obat atau metode yang dapat mencegah penularan HIV/AIDS,’’ papar Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma’ruf Amin dalam fatwa tersebut. Selain itu, menurut fatwa tersebut, suami atau istri yang menderita HIV/AIDS diminta untuk tidak memperoleh keturunan.

Lalu bagaimana jika seorang ibu penderita HIV/AIDS tersebut hamil?  Fatwa MUI menyatakan, wanita hamil tersebut tak boleh menggugurkan kandungannya. Hal itu didasarkan pada firman Allah SWT, ‘’Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.’’ (QS Al-Israa:31).

Bahtsul Masail Diniyah Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwanya terkait pernikahan penderita HIV/AIDS dalam forum Munas NU yang digelar di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat pada 1997. Dalam fatwanya ulama NU menyatakan, ‘’pernikahan pengidap HIV/AIDS dengan sesama pengidap, maupun bukan, hukumnya sah namun makruh.’’

Hal itu didasarkan pada Asnal Mathalib juz III, halaman 176. ‘’Dan sah namun makruh pernikahan keduanya (pengidap HIV/AIDS)…’’   Dalam hukum Islam, makruh adalah suatu perkara yang dianjurkan untuk tidak dilakukan akan tetapi jika dilakukan tidak berdosa dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala dari Allah SWT. 
PERNIKAHAN PENDERITA HIV/AIDS, APA HUKUMNYA (BAG-1)

PERNIKAHAN PENDERITA HIV/AIDS, APA HUKUMNYA (BAG-1)


Minggu, 08 Januari 2012 05:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,  Jumlah penderita HIV/AIDS di Tanah Air terus meningkat. Kementerian Kesehatan RI memperkirakan jumlah penderita HIV/AIDS mencapai 200 ribu orang. Angka itu hanyalah fenomena gunung es. Sebab, jumlah penderita HIV/AIDS yang tampak hanyalah 5-10 persen.

HIV/AIDS telah menyebar di hampir seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Kenyataan itu tentu amat memprihatinkan. Ajaran Islam memerintahkan umatnya untuk merawat, mengobati, dan memperlakukan penderita HIV/AIDS secara manusiawi, tetapi tak mengorbankan pihak lain tertular penyakit yang belum ada obatnya itu.

Sebagaimana layaknya manusia biasa, penderita HIV/AIDS tentu saja masih memiliki keinginan untuk menikah. Lalu bagaimana pandangan hukum Islam terhadap masalah itu?  Bolehkah penderita HIV/AIDS menikah dengan orang yang tak menderita?  Selain itu, bagaimana pula hukum pernikahan antarsesama penderita HIV/AIDS?

Guna menjawab pertanyaan itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa terkait masalah itu. Fatwa MUI yang mulai berlaku pada 24 Juni 1997 itu secara rinci membahas masalah hukum pernikahan penderita HIV/AIDS.

Dalam fatwanya, Komisi Fatwa MUI menyatakan,apabila HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit yang tak dapat disembuhkan (maradh daim), maka hukumnya makruh. Hal tersebut didasarkan pada Kifayah al-Akhyar III halaman 38:

‘’Keadaan kedua yaitu laki-laki yang mempunyai biaya pernikahan, namun ia tak perlu menikah, baik karena ketidakmampuannya untuk melakukan hubungan seksual sebab kemaluannya putus atau impoten maupun karena sakit kronis dan lain sebagainya, laki-laki seperti ini juga makruh menikah.’’ 

Hukum pernikahan antara penderita HIV/AIDS dengan orang yang tak menderita penyakit itu bisa berubah menjadi haram. Syaratnya, jika penyakit tersebut susah disembuhkan (maradh daim), serta diyakini membahayakan orang lain (tayaqqun al-idhar).

Komisi Fatwa MUI melandaskan hal itu pada Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu VII halaman 83: ‘’Apabila laki-laki yang akan kawin yakin bahwa perkawinannya akan menzalimi dan menimpakan kemudharatan atas perempuan yang akan dikawininya, maka hukum perkawinannya itu adalah haram.’’

BERSAMA ISTRI MERAIH BIJAK


Hendaklah sang suami itu sadar, bahwa ia tidak akan mendapatkan seorang istri yang bebas dari kekurangan. Boleh jadi istrinya itu dengan segala kekurangan yang ada, tetap lebih baik daripada sekian wanita lainnya, hanya saja ia tidak melihat kekurangan atau aib wanita lainnya itu.
“Suamiku sering menyebut nyebut kelebihan wanita lain di depanku. Seolah-olah  dia menyesal menikah denganku…..” ujar seorang ibu. Tampak kesedihan terpancar dari wajahnya dan kedua matanya pun berkaca-kaca. Memang, adakalanya seorang suami tidak puas dengan keadaan istrinya. Ia selalu mengingat kekurangan istrinya dan membandingkannya dengan wanita lain. Boleh jadi kekurangan istri dirasa cukup berat bagi suami, akan tetapi dalam waktu yang sama, sang istri sesungguhnya juga memiliki banyak kelebihan    atau keistimewaan, serta sekian banyak sifat yang terpuji.
Suami harus berhati-hati di dalam mengambil sikap. Jangan sampai ia menilai dan menghukum istrinya hanya melalui  aib-aibnya saja, akan tetapi ia harus melihat kebaikan dan keburukannya, serta kelebihan dan kekurangannya secara bersamaan. Janganlah ia memberikan keputusan berdasarkan satu sudut  pandang  saja. Janganlah ia membenci istri karena satu perilaku yang menjadi bagian dari tabiatnya.
Jika ingin mengenal hal itu peganglah kertas dan pena  dan tulislah kelebihan-kelebihan istrimu dan kekurangan-kekurangannya, tentu engkau akan melihat bahwa kelebihannya jauh lebih banyak daripada kekurangannya.
Ketahuilah bahwa dalam kehidupan rumah tangga tidak memungkinkan bagimu untuk mendapatkan seorang istri yang seratus persen sesuai dengan kriteria yang engkau inginkan. Sudah tentu terdapat perbedaan karakter dan sudah tentu pula  bahwa engkau akan melihat sesuatu yang mengagumkanmu dan sesuatu yang tidak menyenangkanmu.
Ketahuilah hai para suami, istrimu tidak dan tidak akan seratus persen sebagaimana yang engkau inginkan, sebab ia menerima pendidikan yang berbeda dengan pendidikan yang engkau dapatkan, serta  memiliki tabiat yang berbeda dengan tabiat yang ada pada dirimu.
Terkadang ia memang mirip denganmu dalam beberapa hal, namun berbeda dalam hal lainnya.
Oleh karena itu, terimalah kenyataan ini. Janganlah engkau melawan kehidupan dan hendak mengalahkan tabiat yang sudah mengakar, karena tidak mudah mengubahnya, sekalipun hal itu mungkin, akan tetapi jelas memerlukan waktu yang cukup panjang dan kesabaran yang mendalam, latihan secara terus menerus, nafas yang panjang dan jiwa yang tabah.
Selain kurang sabar terhadap kekurangannya, kadang para suami suka melecehkan akal para istrinya dan cara dia berfikir. Suami yang melakukan hal seperti ini sebenarnya hanya menyebarkan keletihan dan tidak mencari kebahagiaan rumah tangga.
Demikian juga , ia adalah seorang suami yang tidak pantas mendapatkan penghormatan dari istrinya, karena yang namanya penghormatan itu adalah sesuatu yang bersifat timbal balik. Sepanjang engkau tidak menghormati orang lain, maka orang tersebut tidak akan menghormatimu, kecuali jika engkau mau hormat kepadanya. Seorang istri yang merasakan bahwa suami melakukan hal seperti ini, yaitu pelecehan terhadap akalnya dan caranya  dalam berpikir, maka istri tersebut tidak akan memberikan cintanya kepada suaminya.
Ada persoalan yang dipahami secara keliru oleh kaum laki-laki. Yaitu bahwa mereka menganggap akal wanita itu lemah dan kurang cerdas, serta cara berpikirnya bengkok, kurang lurus dan bahwa ia tidak mungkin memiliki pendapat yang lurus.
Pendapat dan anggapan ini sama sekali tidak ada dasarnya dan jelas sekali tidak benar. Sumbernya adalah pemahaman yang keliru mengenai beberapa hadits yang berbicara tentang masalah ini.
Akal wanita adalah akal yang harus dihormati. Ada sebagian wanita yang memiliki keistimewaan berupa kecerdasan akal yang lebih hebat dibandingkan kaum laki-laki. Contoh untuk hal ini sangatlah banyak.
Akan tetapi, bagaimanapun, kecerdasan akal wanita dijadikan oleh Allah dengan garis yang berbeda dari garis kecerdasan laki-laki. Ia merupakan kecerdasan jenis khusus. Oleh karena itu  ia memiliki perhatian-perhatian khusus. Itu merupakan hikmah agung yang hanya diketahui oleh Allah.
Boleh jadi hal itu untuk memperkaya kehidupan, sehingga kehidupan ini menjadi lebih bervariasi dan agar laki-laki tidak berkuasa dengan akalnya saja, akan tetapi perasaan wanita yang menggelora itu juga memberikan makna lain bagi kehidupan.
Adapun jika dasar keyakinan pada diri laki-laki berkenaan dengan akal wanita bukanlah bagaimana dijelaskan diatas dan memang ia telah menikahi yang kurang cerdas atau bengkok pikirannya maka tidak ada alasan baginya untuk menyebutkan hal itu dihadapannya, atau selalu membodoh-bodohkan pendapatnya.
Ia pun harus menerima segala kekurangannya, sepanjang ia menjadi istrinya. Adalah tidak adil jika ia menimbangnya dengan sesuatu yang memang tidak dimiliki olehnya.
Yang tak kalah penting lagi adalah penyertaan istri terkait dengan urusan rumah tangga. Yaitu dalam hal berpikir dan merencanakan suatu hal bersama sang suami, serta bermusyawarah dengannya. Banyak kaum lelaki yang masih berpikiran bahwa “bermusyawarah dengan wanita hanya akan merobohkan rumah tangga” bisa jadi hal ini ada benarnya untuk sebagian kaum wanita.
Akan tetapi ada sebagian kaum wanita atau istri yang bila diajak bermusyawarah, maka akal pikiran atau pendapatnya akan bisa memecahkan sekian banyak masalah yang dihadapi….. Rasulullah pun tidak segan untuk meminta pendapat istrinya…. Jadi……… jangan segan untuk mencontoh Rasulullah dalam masalah ini. ( Tulisan Moelyadi dalam Perkawinan dan Keluarga No. 465/2011 hal 19-22)    
Copyright © 2011-2099 KUA GUNUNGJATI - Dami Tripel Template Level 2 by Ardi Bloggerstranger. All rights reserved.
Valid HTML5 by Ardi Bloggerstranger