- SELAMAT BERQURBAN SEMOGA MENINGKATKAN KESHALIHAH SOSIAL - SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU BAGI PASANGAN YANG BARU MENIKAH- IKUTI KURSUS PRANIKAH BAGI PASANGAN CALON YANG AKAN MENIKAH SETIAP HARI RABU - CEK BUKU NIKAH ANDA DI http://simkah.kemenag.go.id/infonikah atau klik SIMKAH ONLINE - NIKAH DI KANTOR BEBAS BEA- NIKAH DI LUAR KUA RP.600.000 DISETOR KE BANK - TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA
MENGUATKAN IKATAN PERKAWINAN

MENGUATKAN IKATAN PERKAWINAN


Setiap orang yang memutuskan untuk menikah dan membangun ruma tangga tentu mtngharapkan suatu kehidupan suami istri yang bahagia, rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Namun pada kenyataannya keadaan itu tidak terwujud begitu saja tetaoi melalui suatu proses kehidupan yang panjang. Karena setiap pasangan yang menikah memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda, sehingga proses penyatuan yang panjang agar ikatan perkawinan kuat.
Perkawinan merupakan suatu hal yang suci dan sakral, karena perkawinan adalah ikatan yang terhormat, bersih dan tak boleh ducapur adukkan kedngan berbagai hal yang menimbulkan penyakit. Untuk itu perlu tanggung jawab besar dan perlu dipikul oleh mereka yang akan memasuki kehidupan rumah tangga.
Bagaimanapun tanggung jawab perlu dikenalan dari awal harus disadari benar bahwa rusaknya tatanan rumah tangga, misalnya oerceraian adalah suatu yang amat tidak dikehendaki. Oleh sebab itu kesiapan pribadi haruslah dimatangkan sebelum memasuki jenjang kehidupan rumah tangga. Berikut ini beberapa kiat khusus yang perlu diperhatikan oleh meereka yang akan memasuki mahligai perkawinan.
Kedewasaan dan Kemandirian.
Ibarat tonggak yang akan menjadi penopan gutama bangunan rumah tangga, seorang calon suami atau istri haruslah cukup dewasa, matang dan mandiri. Untuk ketiga hal ini ada beberapa dimensi yang dapat dikemukakan antara lain :
Pertama : kematangan emosional. Kematangan emosional in dimaksudkan untuk melihat dan menilai apakah seorang telah mampu melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang-orang yang selama ini dominan terhadap dirinya, terutama orang tua.
Selama ini sering kita jumpai sebuah rumah tangga muda dimana suami dan istri tidak dapat saling mengikat diri dengan kuat. Artinya istri masih merasa ikatan emosionalnya lebih erat dengan orang tuanya atau suami yang belum dapat bertanggungjawab secara penuh.
Hal yang demikian bisa saja terjadi bila pelaku perkawinan itu belum mandiri dan belum matang secara emosional. Dan tentunya rumah tangga yang dimiliki cukup rawan, sebab terjadi perbedaan yang  menimbulkan ketegangan, akan mudah berantakan, bahkan seringkali berakhir dengan perceraian.
Kedua, kematangan sosial yaitu kemampuan seseorang untuk berhubungan dengan orang lain secara sehat dan memuaskan. Sehingga ia akan mampu memahami kondisi orang lain, bahkan kelebihan maupun kekurangannya. Selaiknya, ia juga dapat menerima kekurangan dan kelebihan dirinya. Dengan pemahaman seperti ini ia tidak akan menyulitkan diri sendiri dan juga tidak menyulitkan orang lain.
       Tidak adanya kematangan sosial dalam diri suami istri akan membuat mutu komunikasi menjadi buruk oleh sebab itu diperlukan kesabaran serta kedewasaan dalam diri maupun pasangan suami istri bila menemukan hal-hal yang tidak disukai dari diri maupun prilaku pasangannya.
       Ketiga, kemandirian sikap dan prinsip atau juga bisa disebut kematangan spiritual. Inilah yang berkaitan langsung dengan nilai kearifan sebagai seorang yang beragama yang punya kemantapan iman.
        Keempat, kemandirian finansial. Walaupun kita tidak berorientasi materialistik, tetapi kita perlu bersikap realistik bahwa kebutuhan rumah tangga itu kontinyu dan banyak variasinya.
           Usia Nikah
      Hal penting lain yang berkait dengan pertanyaan kapan saat terbaik menikah adalah masalah usia. Secara integral, masalah usia pernikahan itu terdiri dari sudut pandang fisik, mental dan produktivitas.
Pandangan medis menyatakan usia ideal wanita untuk melahirkan anak adalah usia 20 sampai dengan 30 tahun. Karenanya diantara nterval usia itulah wanita dianjurkan untuk menikah.
Kemudian masalah produktivitas ekonomis. Sejak kecil orang harus dididik untuk mendapatkan ketrampilan profesional dan life skill. Inilah bekal yang penting bagi kehidupan kelak dikemudian hari artinya, ia sudah dipersiapkan mandiri secara ekonomi.
Zaman sekarang ini seakan menawarkan model kehidupan yang menyempit, kalau tak boleh disebut mundur. Karena orang di masa kini diharuskan menempuh masa studi yang demikian panjang tanpa dibarengi dengan life skill yang memadai. Dengan panjangnya masa studi ini sampai melewati masa baligh dan bahkan dewasanya, sehingga tak sedikit mereka sudah menyelesaikan masa studi dan sudah dewasa, tetapi belum apa-apa dan tergantung secara ekonomis belum berani melangkah. Sebagai akibatnya, perbuatan yang tak terpuji pun dilakukan misalnya hamil diluar nikah akibat seks bebas.
Tak dapat dipungkiri kalau hal yang demikian sudah menjadi sistem hidup yang umum. Karena itu yang penting sekarang aalah bagaimana menyiasati kondisi yang ada, dengans mengembangkan life skill itu kemudian berlatih edini mungkin dengan aktivitas ekonomis. Tapi hati-hati jangan sampai berorientasi materialistis.
Kondisi Lain.
Sebagai bahan pertimbangan lain, bisa ditambahkan di sini kondisi-kondisi yang mungkin bisa menghambat atau sebaliknya malah mendukung peoses pernikahan.
Hal pertama yang diperhatikan adalah kondisi sosial ekonomi keluarga . kekurangan dari segi ekonomi seringkali menjadi penghambat. Orang tua biasanya berharap anaknya dapat membantu perekonomian keluarga sebelum menikah.
Dalam pikiran kebanyakan orang tua, bila anaknya sudah menikah, maka perhatian finansial pasti akan terkonsentrasi pada rumah tangganya sendiri. Dengan demikian sulit untuk diharapkan membantu orang tua atau saudara-saudara yang belum menikah. Oleh karena itu seseorag yang waktunya menikah, haruslah bersikap arif dalam memberikan pemahaman dalam bertindak. Karena itu usahakanlah untuk terus menjalin komunikasi dengan keluarga orang tua.
Nah hal seperti ini tentu saja merupakan ujian yang tidak kita inginkan. Untuk itu diperlukan pemahaman, kedewasaan, serta kesiapan yang baik dalam memasuki jenjang perkawinan. (Perkawinan dan Keluarga No.425/2007 hal 19-21)   

PENANGGULANGAN TINGGINYA ANGKA PERCERAIAN


Indonesia kini berada dalam peringkat tertinggi negara-negara yang menghadapi angka perceraian (marital divorce) paling banyak dibandingkan negara-negara berpenduduk muslim lainnya. Berdasarkan data yang diungkap Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, setiap tahun ada dua juta perkawinan, tetapi yang memprihatinkan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat yaitu setiap 100 orang yang menikah 10 diantaranya bercerai. Tidak sedikit perceraian terjadi  pada mereka yang baru berumah tangga.
Perkawinan yang banyak mengalami kegagalan sebagian besar adalah perkawinan di kalangan muslim. Tingginya angka perceraian bukan sebuah fenomena yang wajar dalam kehidupan masyarakat. Perceraian pada  kalangan masyarakat menengah-bawah terutama karena faktor ekonomi. Tetapi saat ini perceraian banyak terjadi pada lapisan masyarakat menengah – atas yang sudah mapan secara ekonomi dan sosial.
Dulu, kondisi yang lebih parah terjadi dalam dekade 1950-an yaitu sebelum berdirinya BP4 (Badan Penasihatan, Pembinaan dan pelestarian Perkawinan) dan sebelum lahirnya Undang-undang Perkawinan. Penanggulangan yang dilakukan pada masa itu ialah upaya yang dipelopori HSM Nasarudin Latif selaku perintis BP4 dan Kepala KUA Provinsi Jakarta Raya bahwa setiap suami istri yang akan mengajukan perceraian pada Pengadilan Agama harus terlebih dahulu datang ke kantor penasihat perkawinan untuk sedapat mungkin dirukunkan dan diselesaikan perselisihannya. Lembaga penasehat perkawinan ketika itu mengambil peranan sebagai mediasi, yakni mencegah perceraian selagi belum diajukan ke Pengadilan Agama. Upaya tersebut terbukti berhasil menurunkan angka perceraian secara signifikan.
Kini, pada sebagian kalangan masyarakat perkawinan sudah tidak dianggap lagi sebagai pranata sosial yang sakral, sehingga ketika terjadi masalah atau perselisihan, perceraian langsung menjadi pilihan utama. Padahal ikatan perkawinan bukan semata-mata ikatan perdata. Banyaknya perceraian belakangan ini juga ditengarai sebagai dampak globalisasi arus informasi yang mengganggu psikologi masyarakat melalui multi media yang menampilkan figur artis dan selebriti dengan bangga mengungkapkan kasus perceraiannya.
Penulis tertarik dengan pembinaan perkawinan di Singapura sewaktu berkunjung ke negara tersebut menjelang akhir 2007 lalu. Setiap calon pengantin diwajibkan mengikuti kursus pranikah, yang di Singapura disebut Kursus Bimbingan Rumah Tangga. Untuk calon pengantin muslim, peserta kursus bimbingan rumah tangga memperoleh sijil (sertificate) yang diiktiraf oleh jabatan pernikahan Islam setempat. Selain Singapura atau Malaysia, di beberapa negara Eropa, nasihat sebelum perkawinan diperoleh pasangan yang hendak menikah, setara dengan kuliah satu semester, sementara di Indonesia hanya sekitar 30 menit saat berhadapan dengan penghulu.
Prof.Dr.Zakiah Darajat, ahli ilmu jiwa agama yang banyak memberikan perhatian terhadap masalah kesejahteraan keluarga oernah menyatakan, jika kita tanyakan kepada orang tua yang mempunyai anak yang sudah mencapai usia dewasa awal, bahkan usia remaja, tentang apa yang mereka pikirkan, jawabannya hampir sama, yaitu masalah jodoh bagi anaknya. Jarang kita dengar tentang car membekali putra-putri mereka menghadapi kehidupan berkeluarga kelak. Hal ini menggambarkan betapa lemahnya pemikiran orang tua tentang pembekalan putra-putri nya yang telah diambang pernikahan. Padahal untuk suatu pekerjaan sederhana sekalipun, orang perlu dipersiapkan. Namun untuk menjadi seorang suami yang akan menjadi kepala rumah tangga atau seorang istri yang akan menjadi pendamping suami, pengatur kehidupan rumah tangga dan cepat atau lambat akan menjadi pengasuh, pendidik dan pembimbing anak-anak yang lahir didalam keluarga itu nanti, tidak ada kursus atau sekolahnya. Setiap pengantin hanya diantar dengan doa, ditambah sedikit nasihat pernikahan dari orang yang dipandang dapat memberikannya.
Ditengah tingginya potensi instabilitas rumah tangga dan banyaknya perceraian, maka pendidikan dan pembekalan kepada pasangan yang hendak menikah adalah salah satu cara yang paling mungkin dilakukan. Upaya tersebut akan berfungsi ganda sebagai edukasi nilai-nilai perkawinan disemua level masyarakat maupun sebagai langkah untuk memperbaiki mutu perka winan dan mengurangi perceraian.
Pemerintah bersama BP4 perlu mengambil langkah strategis untuk memperkuat lembaga perkawinan dan mengurangi perceraian. Langkah yang dapat dilakukan ialah kewajiban mengikuti kursus pranikah dan bimbingan rumah tangga bagi calon pengantin di seluruh tanah air. Disamping itu langkah lainnya ialah revitalisasi peran BP4 untuk bertindak sebagai mediasi dalam penyelesaian kasus  perceraian diluar peradilan atau out of court settlement. Penulis optimis, upaya diatas yang kini telah berjalan diharapkan dapat mengurangi perceraian.
Dalam kaitan itu, Peraturan Menteri Agama RI tentang pencatatan nikah perlu secara eksplisit memuat ketentuan mengenai kewajiban mengikuti kursus pranikah dan bimbingan rumah tangga bagi calon pengantin yang akan menyampaikan pemberitahuan kehendak menikah kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Agama RI sejak beberapa tahun lalu yang telah menginstruksikan kepada Direktorat Urusan Agama Islam supaya membuat terobosan program guna memperkuat lembaga perkawinan, diantaranya lewat pendidikan pranikah.
Sedangkan lembaga yang ditugaskan untuk menyelenggarakan kursus pranikah dan bimbingan rumah tangga itu adalah BP4 Pusat dan Daerah denga sumber dana APBN dan APBD. Disamping itu dapat diselenggarakan oleh Lembaga swasta secara swadana dengan akreditasi dan sertifikasi diberikan oleh BP4. Jika bukan sekarang kapan lagi kita berbuat lebih serius memperkuat nilai-nilai perkawinan dan rumah tangga di tengah masyarakat.
Pada hemat penulis, penguatan lembaga perkawinan sama mendesaknya dengan penanggulangan bencana moral dan pergaulan bebas yang kini melanda para remaja kita. Betapa tidak risau, norma standar dan nilai-nilai yang seharusnya menjadi simpul pengikat perkawinan dan kehidupan rumah tangga muslim belakangan ini tampak semakin pudar pengaruhnya di masyarakat.
Semua kalangan tentu sepakat bahwa mempersiapkan perkawinan yang mempunyai tujuan mulia sebagai ibadah kepada Allah Swt berarti meletakkan fondasi yang kokoh bagi mahligai rumah tangga dan masa depan satu generasi. Begitu pula, menyelamatkan perkawinan dan rumah tangga yang sedang dirundung masalah berarti menyelamatkan satu generasi.
(Ditulis oleh : M.Fuad Nasar, MSc dalam Majalah Perkawinan Keluarga Edisi No. 466/2011 hal 15-18).
Copyright © 2011-2099 KUA GUNUNGJATI - Dami Tripel Template Level 2 by Ardi Bloggerstranger. All rights reserved.
Valid HTML5 by Ardi Bloggerstranger